FreeLists / ppi / [ppi] [ppiindia] Merindukan Teknokrasi?
Merindukan Teknokrasi? Oleh: L WILARDJO Harian Kompas, 25/7/2005, menempatkan dua kritik tajam terhadap Susilo Bambang Yudhoyono dan pemerintahnya di tengah pentas opini. Ikrar Nusa Bhakti melihat lampu sudah menyinarkan cahayanya karena pemerintah kelimpungan menghadapi seabrek masalah. Eep Saefulloh Fatah melontarkan kecaman senada. Pemerintah dilihatnya lebih mementingkan kemasan kebijakan daripada isinya. Ikrar menyoroti pejabat-pejabat yang tidak peka terhadap kesulitan rakyat. Mereka memamerkan kemewahan dan mengejar kepentingan pribadi. Situasi bak telur di ujung tanduk, tetapi keputusannya bersifat dadakan dan tanpa rancangan. Dia mengecam kebijakan-kebijakan yang terkesan reaktif, instan, dan impulsif. Contohnya tentang tulalit SMS yang terasa menikam secara telak. Sementara menurut Eep, pemerintah terkesan mengejar popularitas, padahal popularitas bisa merupakan tabungan bukti ketakbecusan. Popularitas memang perlu, tetapi yang diinginkan bukan popularitas berkat kemicaraan retorika yang dibuatkan penulis pidato. Juga bukan popularitas hasil polesan penjaga citra. Yang didambakan Eep ada pada SBY dan para pejabat publik ialah apa yang disebutnya popularitas teknokratis. Bahwa SBY dan Kabinet Indonesia Bersatunya populer di mata masyarakat telah ditunjukkan oleh jajak pendapat Kompas, 16-17/7/2005. Baik menurut para pemilih SBY, maupun menurut mereka yang tidak memilihnya, kinerja pemerintah di bidang politik dan keamanan, penegakan hukum, dan kesejahteraan rakyat cukup bagus. Nisbi terhadap Megawati dan Gus Dur, kemampuan SBY dalam mengatasi persoalan polkam, hukum, dan kesra juga dinilai lebih unggul. Maka kalau pencuplikan (sampling)-nya tepat dan aras keyakinan jajak pendapat itu sungguh-sungguh 95 persen, popularitas yang menurut Eep dikejar pemerintah, dan oleh Ikrar disiratkan demikian pula, jelas sekali tercapai. Tetapi, ini bertentangan dengan asumsi Eep Saefulloh tentang rasionalitas pemilih (yang adalah rakyat, dalam pemilihan presiden lalu). Rakyat yang sejatinya rasional pasti jeli melihat ketakbecusan kendati dikemas sebagai kebijakan populis. Maka mereka mestinya memberi nilai D atau bahkan F pada kinerja SBY dan pemerintah yang dipimpinnya. Jika logika Barat berlaku bagi kita, salah satu (kesimpulan jajak pendapat Kompas atau asumsi Eep tentang rasionalitas rakyat) tentu salah. Itulah asas Larangan Tengah (the Principle of Excluded Middle). Merisaukan Kebecusan, menurut Eep, adalah... "kematangan teknokratis". Ia juga berharap bahwa SBY, Jusuf Kalla, dan para pejabat publik lainnya membangun "popularitas teknokratis". Kegandrungan Eep Saefulloh Fatah terhadap sifat teknokratis ini bagi saya merisaukan. Teknokrasi secara etimologis berasal dari kata-kata techné (teknik) dan kratein (memerintah). Teknokrasi ialah pemerintahan yang menekankan pentingnya prinsip-prinsip teknologi, seperti efisiensi, kuantifikasi, produktivitas, perencanaan, dan penggunaan kiat, serta SOTA (state of the art). Kaum teknokrat amat terkesan dengan kehebatan teknologi sehingga menerapkannya dalam menata kehidupan masyarakat manusia! Padahal, teknologi memiliki obsesi untuk berkembang terus dalam pilin yang kian membesar, seolah- olah sumber daya alam dan daya dukung lingkungan hidup akan tersedia terus tanpa batas. Obsesi teknokrasi cenderung akan memperlakukan manusia sebagai data statistik, menguras sumber daya alam serta mencemari lingkungan, dan mengepinggirkan mereka yang tidak mampu menunggang gelombang kemajuan teknologi. Mereka itu akan menjadi tumbal dalam pembangunan masyarakat teknokratis yang kapitalistik-utilitarian dan cenderung otoritarian. Orde Baru dipimpin para teknokrat. Kaum teknokrat juga disebut ideologiwan perencanaan (the ideologists of planning) oleh guru besar Institut Teknologi Delft dan Eindhoven, Egbert Schuurman. Prakarsa kreatif Tokoh-tokoh pejabat di masa Orba benar-benar ideologiwan perencanaan. Ada rencana pembangunan jangka panjang tahap I dan II, yang dipotong-potong dalam rangkaian repelita-repelita. Semuanya dijabarkan dari Tap MPR yang berupa GBHN. Penjabarannya rinci, sampai juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis)-nya segala. Semua sudah disediakan dan "dipatok mati" sehingga tak ada lagi ruang bagi prakarsa yang kreatif karena para birokrat takut melanggar juklak dan juknis! Takut dicap subversif atau dituding sebagai anggota OTB (organisasi tanpa bentuk). Tetapi, ketaatan pada rencana dan program itu cuma sebatas formalitas, tidak sampai ke substansinya. Semua rencana dan program juga disahkan dengan "demokrasi" formal belaka. Draf GBHN disodorkan pada DPR/MPR; yang pertama oleh Komisi Daryatmo, kemudian oleh Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (Wanhamkamnas). Kelihatannya, Wanhamkamnas amat demokratis, turba ke daerah, ke perguruan-perguruan tinggi untuk menjaring masukan, kemudian menggodoknya dalam rakor-rakor. Tetapi, apakah draf GBHN-nya mencerminkan kehendak rakyat? Dan tap-tap MPR itu selalu disetujui dengan aklamasi, didukung bulat, tanpa lonjong, benjol, atau lekuk sedikit pun! Apakah popularitas teknokratis seperti yang dinikmati Orba itu yang didambakan Eep? Apakah Ikrar Nusa Bhakti sama sekali tidak membuka peluang bagi kearifan intuitif yang seolah-olah membersit secara spontan dan seketika? Menurut Henryk Skolimosky, guru besar Filsafat Teknologi di Universitas Michigan, Ann Arbor, "Wisdom consists in the exercise of judgment, based on qualitative criteria, usually in conflicting situations". (Kearifan mewujud dalam penilaian yang didasarkan pada patokan-patokan kualitatif, biasanya dalam situasi yang dilematis). Meski jumlahnya tak banyak, orang arif itu ada! Pernyataan ini saya kemukakan tanpa ada maksud untuk secara tendensius berpretensi bahwa orang itu SBY. Bertindak cepat Dalam keadaan darurat, tidak ada waktu untuk menggelar rapat dan berdebat. Yang perlu adalah bersikap dan bertindak dengan cepat, seperti wali kota (atau gubernur?) Giuiliani dalam peristiwa tragis 9/11 di New York. Tentu saja ketepatan tindakan itu harus dipertanggungjawabkan nanti. Orang cenderung menilai sikap antisipatif dan tindakan preemptif lebih bagus daripada tanggapan reaktif. Tetapi cepat tanggap secara reaktif pun, seperti dalam kasus flu burung, sudah lumayan daripada terkesiap lalu terpaku gagap. Dalam kasus lumpuh layuh dan busung lapar, pemerintah memang tampak lamban. Mungkinkah itu karena pers terlambat mengekspos pageblug mayangkara itu, dan tokoh-tokoh daerah sibuk berpilkada dan ber-KKN ria sehingga tak ada laporan yang sampai ke pusat, atau hanya laporan ABS ala patih ketoprak? Reaksi terhadap krisis energi dengan berhemat tidak jelek, meski itu saja memang tidak cukup. Tetapi setidak-tidaknya sudah mulai ada perhatian terhadap sisi penggunaan akhir (end use side). Berhemat dan mengatasi kebocoran ada baiknya daripada cuma memerhatikan sisi pasokan (supply side) saja, seperti yang selama ini kita lakukan. Di masa sulit seperti sekarang ini, tak ada jeleknya kita menuruti petuah Max Weber: bekerja keras, berhemat, dan menunda kenikmatan (hard work, triftiness, and deferment of gratification).
No comments:
Post a Comment