THAILAND yang sering dijuluki sebagai negara penuh senyum itu, ternyata menyimpan banyak masalah, khususnya terkait dengan korupsi dan tindakan represif negara. Setidaknya laporan jurnalis ternama George Marshall yang sudah bekerja di Thailand selama 17 tahun itu, mengungkapkan sejumlah tindakan penyelewangan pemerintah dan pihak kerajaan. Menurut Marshall, Thailand tidak layak tidak layak disebut negara demokratis, tetapi negara otoriter dan opresif. Karena kebebasan pers di negara itu dikekang habis-habisan, tidak heran, jika negara gajah putih ini menyimpan banyak rahasia Pencitraan Thailand sebagai negara demokratis adalah tidak tepat karena pada faktanya, negara ini justru terbelakang dalam menerapkan azas kebebasan berpendapat yang jadi pilar penting dalam kehidupan demokrasi.
Akibat tulisan kritiknya itu, Marshall harus mengundurkan diri pekerjaannya sebagai wakil kepala biro Reuters di Bangkok sejak Mei lalu. Sangat disayangkan, kantor berita sekelas Reuters memilih untuk tunduk pada aturan yang represif terhadap pers itu.
Selama ini, tindakan negatif anggota kerajaan tidak pernah tersiar karena hukum setempat dibuat sedemikian rupa untuk menangkal keboborokan monarki terungkap kepada publik. Salah satunya adalah undang-undang yang melarang pemberitaan buruk terhadap sejumlah anggota keluarga kerajaan, yaitu Raja Bhumibol, Ratu Sirikit dan Putra Mahkota Pangeran Vajiralongkorn. Bagi pelanggar, hukumannya adalah 15 tahun penjara. Sudah banyak jurnalis dan akademisi yang harus dipenjara dan kehilangan pekerjaannya karena berani mengkritik pemerintahan dan keluarga kerajaan. Di antara mereka yang vokal menyuarkan kebenaran ini adalah Professor Giles Ungpakorn, yang kini hidup sebagai pelarian di Inggris untuk menghindari hukuman penjara akibat mengkritik keluarga kerajaan. Bahkan, jurnalis senior Reuters Andrew Marshall pun harus kehilangan pekerjaannya senagai wakil kepala biro Reuters di Thailand karena menulis berita mengenai penyelewengan anggota monarki Thailand. Sejak 1 Juni 2011, pemerintah Thailand mencap Marshall sebagai kriminal. Pria plontos yang kini mejadi penulis lepas itu mengatakan, dia tidak menyesal menuliskan laporan soal kebobrokan monarki Thailand. "Saya sudah tahu dari awal bahwa tulisan saya ini sangat berisiko. Saya juga paham dengan sikap Reuters yang menolak memuat laporan saya soal kerajaan itu, " kata Marshall baru-baru ini dalam tulisan opini yang dimuat media daring Inggris "Independent".
Menurut Marshall yang sudah bekerja di Reuters selama 17 tahun in, dia lebih memilih kehilangan pekerjaan dan dimusuhi teman-temannya daripada harus menutup kebenaran. "Sebagai jurnalis, saya punya kewajiban moral untuk mengungkapkan kebenaran," kata Marshall menambahkan.
Memang sangat disayangkan, kantor berita sebesar Reuters pun takut dengan penerapan hukum itu dan memilih untuk mematuhinya. Sejumlah pihak menyebutkan, Reuters melakukan itu karena tidak ingin terdepak dari negara tersebut. Apalagi jumlah jurnalis lokal yang direkrut Reuters mencapai 1.000 orang. Jadi, mereka sangat berhati-hati dalam memberitakan keluarga kerajaan. Mungkin, kepentingan ekonomis yang besar telah membuat Reuters tega tidak memuat laporan Marshall.
Berdasarkan data, aplikasi hukum yang mengekang kebebasan pers ini merupakan yang terburuk sedunia. Akibat implementasi hukum jadi-jadian tersebut, masyarakat Thailand tidak pernah mengetahui apa yang terjadi di lingkungan monarki Thailand. Padahal, seperti dilaporkan Wikileaks tiga bulan lalu, monarki Thailand dibawah kepemimpinan Raja Bhumibol selama 62 tahun terakhir ini, melakukan banyak penyelewengan. Dalam tulisan terbarunya di majalah Time, hal itu kembali diungkapkan Marshall. Menurut dia, Thailand saat ini sedang 'sakit" akibat ulah sejumlah anggota monarki. Begitu banyak kebohongan yang disembunyikan keluarga kerajaan dari publik Thailand yang selama ini begitu menghormati mereka.
Meski selama ini monarki Thailand menjadi perekat yang telah berhasil menjauhkan negara itu dari konflik saudara, tetapi pada faktanya, seperti juga diungkap Wikileaks, kondisi monarki Thailand saat ini diambang krisis. Bahkan, monarki ternacam perpevahan yang ujung-ujungnya dapat memicu konflik baru di Thailand. Apalagi, menjelang pemilu 3 Juli mendatang, situasi panas di kerajaan akan semakin menjerumuskan Thailand dalam situasi yang yang tidak menentu.
Laporan Wikileaks dua hari lalu menyebutkan, pemilu Thailand dua minggu mendatang akan memicu konflik baru di negara tersebut.Apalagi, ada indikasi telah terjadinay friksi antar anggota keluarga kerajaan. Jurnalis Brian Rex menuliskan bahwa ada ketidaksepahaman antara Raja dan Ratu Thailand. Konflik diantara keduanya sudah terjadi bertahun-tahun. Sirikit pun dilaporkan tidak lagi berkomuniaksi dengan suaminya. Dalam hal ini, Sirikit memiliki pandangan politis yang berbeda dengan suaminya. Suaminya selama ini sering digambarkan sebagai sosok yang apolitis sehinga memilih utnuk tidak campur tangah jauh dalam masalah politik. Sementara istrinya, dalam bebearapa tahun etrakhir ini, teaptnya sejak 2008, justru menunjukkan sikap yang bertentangan. Dia tidak sungkan-sungkan menunjukkan simpatinya kepada kelompok Kaus Kuning. Banyak pihak yang menyesalkan sikapnya yang ikut campur dalam politik Thailand.
Sikap Ratu yang nyeleneh inilah yang mebuat banyak pihak khawatir pemilu mendatang akan berakhir dengan konflik. Apalagi hasil jajak pendapat yang dipublikasikan Universitas Bangkok menyebutkan, adik perempuan Thaksin Shinawatra itu berpeluang memang dalam pemilu mendatang.
Menonjolnya pengaruh Ratu Sirikit ini telah menyebabkan eksistensi Raja Bhumibol Adulyadej memudar. Kesehatannya yang sangat rapuh juga menjadi salah satu faktor, peranan raja berusia 83 tahun itu tidak lagi begitu kuat. Bahkan banyak pihak yanga memperkirakan umurnya sudah tidak panjang lagi. Suksesi pun sudah ramai dibicarakan. Selama ini ada dua calon. Pertama, Putra Mahkota Pangeran Vajiralongkorn yang sosoknya sangat tidak populer akibat perilakunya yang suka perempuan dan obat-obatan terlarang. Kedua, anak perempuan Bhumibol dan Sirikit, Putri Maha Chakri Sirindhorn, yang memang sangat populer di kalangan masyarakat Thailand.
Perpecahan antara Sirikit dan suaminya akan dapat semakin merunyamkan suksesi dan hasil pemilu mendatang. Apalagi diketahui Putra Mahkota sanagt berambisi untuk menggantikan ayahnya. Padahal,secara kualitas, dia tidak punya keahlian memimpin dan karisma yang dimiliki ayahnya. Laporan Wikileaks menyebutkan, anak pertama Bhumibol itu memiliki temparemen kasar. Tidak heran, banyak warga Thailand tidak suka dengan sosok pria playboy yang sudah menikah tiga kali itu.
Dilaporkan, rakyat Thailand lebih menyukai sosok Putri Maha Chakri Sirindhorn. Raja Bhumibol pun lebih merestui putrinya itu untuk menjadi penerus tahta kerajaan. "Saya punya empat anak, tetapi hanya dia yang benar-benar membumi. Dia tidak pernah menikah tetapi memiliki jutaan anak," kata Bhumibol dalam obrolannya dengan sejumlah diplomat AS di Thailand, seperti dibocorkan Wikileaks.
Melihat begitu kompleksnya perpecahan anggota keluarga kerajaan Thailand, tidak heran, banyak pengamat memprediksi, politisasi monarki Thailand oleh Ratu Sirikit itu, juga akan menyebabkan Thailand dilanda krisis baru. Penulis Eric John bahkan menyebutkan, politisasi kerajaan oleh Sirikit akan menjadi bumerang bagi keluarga monarki itu sendiri. Apakah ini berarti, sistem monarki Thailand akan berakhir.Masih terlalu dini untuk menjawabnya. Namun, yang pasti, kisruh monarki telah membuat gejolak politik Thailand semakin memanas. (Huminca)***
Translate
Showing posts with label middle class. Show all posts
Showing posts with label middle class. Show all posts
Friday, June 24, 2011
Kisruh Monarki dan Krisis Thailand
Subscribe to:
Posts (Atom)