Instagram

Translate

Wednesday, April 12, 2006

Aussie-Indo Relationship

From Pikiran Rakyat , Jumat, 31 Maret 2006 Keharmonisan Jakarta-Canberra Sulit Diprediksi Oleh Huminca Sinaga TIDAK dapat disangkal, hubungan bilateral Indonesia dan Australia tidak selalu berjalan mulus. Sejumlah konflik ikut mewarnai hubungan di antara kedua negara tersebut. Sebagai contoh, sebut saja lepasnya Timor Timur pada 1999 lalu, sempat membuat hubungan diplomatik kedua negara mencapai level terendah. Saat itu, Indonesia tidak bisa menerima tindakan Australia yang jelas-jelas merendahkan kedaulatan pemerintah Indonesia, yakni dengan cara mendukung kemerdekaan bekas provinsi termuda di Indonesia tersebut. Padahal, sebelumnya pemerintah Australia di bawah pimpinan John Howard selalu berkoar-koar bahwa Australia akan selalu mendukung keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Faktanya bicara lain, Australia justru berperan besar dalam peristiwa lepasnya Timor Timur dari wilayah Indonesia. Australia bahkan menjadi pemimpin pasukan multinasional penjaga perdamaian PBB di negara baru tersebut. Kenyataan pahit ini sempat membuat Indonesia marah besar dan ingin memutuskan hubungan diplomatik kedua negara. Namun, hal tersebut tidak jadi karena berdasarkan kalkulasi politik, baik itu dari pihak Australia maupun Indonesia, pemutusan hubungan diplomatik tidak akan menguntungan keduanya. Karena itu, kedua negara pun berupaya untuk memperbaiki hubungan bilateral mereka. Dalam rangka pemulihan tersebut, terjadinya peristiwa Bom Bali 2001, yang menewaskan sekira 200 turis warga negara Australia, mempunyai efek positif dalam merekatkan kembali hubungan kedua negara yang sempat dingin tersebut. Sayangnya, hubungan yang mulai membaik tersebut kembali memanas bahkan dapat dikatakan mencapai level hubungan terendah dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir ini, yakni sejak Timor Leste lepas dari NKRI. Pemicu rusaknya hubungan Indonesia-Australia kali ini adalah keputusan Departemen Imigrasi dan Multikultural Australia (DIMA) yang memberikan visa kepada 42 warga Papua yang merupakan anggota gerakan separatis OPM (Organisasi Papua Merdeka). Pemerintah Indonesia menilai pemberian visa sementara tersebut merupakan bentuk dukungan Australia terhadap gerakan seperatis di Papua. Meski pada kenyataannya, pemerintah Australia juga memberikan visa jenis tersebut kepada ratusan warga non-Papua lainnya. Hanya dalam hal ini, tensi politik meninggi karena Indonesia punya pengalaman buruk dengan Australia. Setidaknya, kasus lepasnya Timor Timur dari NKRI seolah-olah membuka kembali kenangan pemerintah dan rakyat Indonesia terhadap perilaku pemerintah Australia yang double-standard. Pada saat itu, Australia menegaskan sikapnya untuk selalu mendukung NKRI dengan mengakui bahwa Timor Timur adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Indonesia. Ternyata, janji itu hanyalah omong kosong ketika secara terang-terangan Australia memfasilitasi kemerdekaan Timor Timur dari Indonesia. Pernyataan politis Tambahan pula, pernyataan politis Howard mengenai pre-emptive strikes pada 2004 lalu, sempat memicu kemarahan pemerintah kita. Pasalnya, keberadaan doktrin pre-emptive strikes tersebut jelas-jelas bertentangan dengan prinsip kemitraan dan perdamaian yang digaungkan sejumlah negara di Asia khususnya di wilayah ASEAN. Apalagi, ketika Australia menolak menandatangani TAC (Perjanjian Kemitraan dan Kerja Sama), hal ini semakin memperjelas bahwa niat Australia untuk bertetangga, baik dengan Indonesia dan sejumlah negara Asia lainnya, patut diragukan. Mengapa? Karena penerapan doktrin pre-emptive strike bisa menjadi alat bagi Australia untuk membenarkan tindakannya menyerang siapa pun yang dianggap sebagai ancaman terhadap kepentingan nasional Australia, termasuk menyerang Indonesia. Padahal, di satu sisi TAC adalah suatu perjanjian yang mengadopsi prinsip-prinsip yang tercermin di dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), seperti sikap tidak mengintervensi kepentingan negara lain dan mengedepankan penggunaan cara-cara damai dalam memecahkan setiap masalah yang mungkin terjadi di antara negara-negara TAC. Doktrin yang diluncurkan Howard dan TAC adalah dua hal yang sangat berbeda sehingga dalam hal ini bisa dikatakan bahwa penolakan Australia terhadap TAC menunjukkan bahwa John Howard cenderung memprioritaskan hubungannya dengan AS dibandingkan dengan Indonesia dan negara-negara Asia lainnya. Sikap yang tidak bersahabat ini menunjukkan bahwa politik luar negeri (PLN) Australia di bawah pemerintahan John Howard yang berasal dari Partai Liberal, sangat jauh berbeda dengan PLN Australia yang dijalankan oleh PM sebelumnya, Paul Keating (1991-1996), yang berasal dari Partai Buruh. Kedua partai tersebut memang memiliki pandangan yang berbeda terhadap konstelasi hubungan internasional, termasuk di dalamnya hubungan Australia dan Indonesia. Dalam hal ini, Partai Buruh dikenal lebih toleran dan lebih memahami Indonesia. Bahkan, mantan PM Keating sempat merumuskan kebijakan luar negeri Australia yang sangat bersahabat dengan Asia. Dalam agenda PLN Australia saat itu, dengan tegas disebutkan bahwa Asia adalah teman terpenting Australia. Karena itu, dalam pandangan Keating, sudah seharusnya Australia mengintensifkan hubungan persahabatan dan kerja sama dengan negara-negara di Asia bukan dengan negara-negara kulit putih. Bahkan, pada masa itu, Indonesia punya arti tersendiri bagi Australia karena Deklarasi APEC di Bogor 1994, telah menjadi pemicu bangkitnya perekonomian Australia yang semula sempat melemah hingga akhirnya menjadi salah satu negara terkaya di dunia. Sayangnya, hubungan baik itu kembali terganggu pada masa pemerintahan John Howard. Howard maju sebagai PM Australia setelah Partai Liberal menang dalam pemilu 1998. Pandangan politik Partai Liberal berbeda dengan Partai Buruh. Dalam hal ini pandangan politik internasional Partai Liberal lebih bercermin pada negara-negara kulit putih, khususnya Amerika dan Inggris. Sulit diprediksi Jika dievaluasi, hubungan Indonesia-Australia selama masa kepemimpinan Howard yang sudah memasuki usia 10 tahun pada Maret ini, sangat unik karena arah hubungannya sering kali sulit diprediksi. Misalnya, siapa yang menyangka masalah kecil seperti tertangkapnya mahasiswa asal Australia, Schapelle Corby, yang terbukti menyelundupkan narkoba ke Indonesia, ternyata sempat menyulut emosi sejumlah warga Australia yang juga akhirnya sempat ikut memicu emosi sejumlah warga Indonesia. Untungnya, baik pemerintah Australia maupun pemerintah RI, tidak memedulikan reaksi emosional warga mereka. Keputusan tetap ada di tangan para hakim yang mengurusi perkara tersebut. Belum selesai kasus Corby, muncul kasus lainnya seperti manusia perahu, penyelundupan narkoba oleh kelompok "Bali Nines", dan penangkapan nelayan Indonesia juga telah ikut mewarnai keunikan serta pasang surutnya hubungan Indonesia dan Australia. Selama ini, kedua pemerintahan mampu menangani dengan baik sejumlah "krisis mini" tersebut. Karena itu, dalam kasus pencari suaka asal Papua, diharapkan persoalan tersebut bisa juga diselesaikan dengan damai. Apalagi, selama ini hubungan bilateral Australia dan Indonesia, di luar sejumlah krisis mini yang selama ini pernah terjadi, harus diakui telah mendatangkan sejumlah benefit bagi keduanya. Misalnya, dalam musibah tsunami akhir 2004 lalu, Australia merupakan penyumbang terbesar untuk program rehabilitasi Aceh dan Sumut pascatsunami. Selain itu, bantuan pendidikan dan program kemanusiaan lainnya dari pemerintah Australia, tidak bisa disangkal punya dampak positif terhadap pengembangan pembangunan di Indonesia. Tentu saja, adanya bantuan tersebut jangan sampai membuat pemerintah kita bersikap lemah terhadap Australia, karena hal itu sangat bertentangan dengan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Indonesia tetap harus bisa memainkan perannya secara aktif di kawasan Asia-Pasifik dan tidak bisa didikte oleh negara mana pun di dunia ini. Apalagi, harus diakui, Indonesia punya pengaruh strategis di wilayah Asia dan kenyataan ini pun tidak bisa disangkal oleh Australia. Hal ini pula yang membuat Australia sampai kini tetap menganggap Indonesia sebagai aktor penting dalam kancah hubungan internasional Australia dengan negara-negara lainnya di dunia. Pentingnya hubungan di antara keduanya itu, membuat Australia tidak akan berani untuk bertindak macam-macam terhadap Indonesia, misalnya saja membalas aksi Deplu Indonesia, dengan memanggil Dubes Australia Bill Farmer ke negaranya. Karena itu, kita bisa lihat bagaimana Australia begitu tenang merespons kemarahan pemerintah Indonesia. Kebijakan PLN Australia ini, menurut pengamat Indonesia asal Australia, Harold Crouch, sudah sangat tepat. Australia sudah seharusnya bertindak tenang dan berupaya untuk meminimalkan segala risiko yang mungkin terjadi, apabila kasus pemberian visa tersebut berkembang lebih jauh. Sebagaimana dikatakan Harold, Australia tidak akan mendapatkan apa pun jika Australia bersikap keras terhadap Indonesia. Karena itu, untuk menormalkan kembali hubungan Indonesia-Australia, perlu ada upaya untuk mengubah konflik menjadi kerja sama. Dalam kasus pemberian visa terhadap 42 WNI asal Papua, perlu diupayakan dialog yang intensif antara pemerintah Australia dan pemerintah Indonesia. Tidak lupa juga untuk mengikutsertakan masyarakat Papua sehingga hasil dialog yang akan dicapai nanti akan mengakomodasi kepentingan masyarakat Papua.

No comments:

Post a Comment