Instagram

Translate

Wednesday, April 12, 2006

AIDS

"Surveillance" HIV Jangan Hanya ke PSK & Penasun Pikiran Rakyat 24 Agustus 2005 halaman 4 BERDASARKAN data "Surveillance serologik HIV" Dinas Kesehatan Jabar, jumlah pengidap HIV (hu­man immunodeficiency virus) di Jawa Barat sejak 1989‑Juni 2005 adalah 1.042 kasus. Sedangkan kasus AIDS (acquired immune deficiency syndrome), 268 kasus. Sebetulnya, pada 1989 jumlah penderita HIV (0) dan AIDS (1) namun dalam rentang 16 tahun terakhir ini, jumlah kasus kedua penyakit menakutkan itu kian meningkat. Jumlah terakhir itu sebenarnya bisa lebih banyak lagi karena kegiatan Surveillance masih di­fokuskan pada sejumlah kelom­pok tertentu, di antaranya pekerja seks komersial (PSK) dan peng­guna narkoba suntik (penasun). Padahal, di luar kelompok itu, seperti pria pelanggan PSK, para ibu rumah tangga yang suaminya "suka jajan", juga rentan dengan terinfeksi HIV yang akhirnya bisa menyebabkan AIDS. Mengacu pada data surveillance HIV di Dinkes Jabar dan Dinkes daerah lainnya di Indonesia, ada peningkatan penularan HIV melalui jalur seks komersial dan penggunaan narkoba suntik (pe­nasun). Khusus yang terakhir ini, jumlahnya meningkat pesat. Di Jabar, 61 % kasus HIV terinfeksi melalui penasun, sedangkan via hubungan seks (hoteroseksual), jumlahnya 18%. Sedangkan 19% tidak diketahui dari mana sumbernya. Karena itu, kegiatan surveillance HIV/AIDS perlu diinten­sifkan untuk kelompok‑kelom­pok lainnya di luar PS K dan pe­nasun. Kegiatan Surveillance epidemiologi sangat penting agar kita mengetahui perkembangan penyebaran HIV/AIDS. Tidak bisa disangkal, jika kegiatan monitoring perkembangan jumlah infeksi HIV/AIDS di Indone­sia termasuk di Jabar, sering ter­hambat oleh adanya stigma bu­ruk masyarakat terhadap kasus HIV/AIDS. Mayoritas masyarakat kita menilai bahwa infeksi HIV/AIDS terkait dengan tingkat moralitas individu yang rendah. Para pengidap dianggap sebagai orang yang tidak bermoral dan sampah masya­rakat sehingga dijauhi. Adalah keliru jika menganggap HIV/AIDS hanya terkait dengan perbuatan zina, WTS, kaum homo, dan pengguna nar­koba suntik. HIV/AIDS bisa menimpa siapa saja. Orang yang tidak melakukan seks bebas, tidak menggunakan narkoba, juga bisa terkena penyakit ini. Buktinya, sejumlah kasus menunjukkan orang baik‑baik seperti ibu rumah tangga, mahasiswa berprestasi, polisi, bayi, bahkan dokter juga bisa terkena AIDS. Simak kisah dr. Bambang Eka yang menjadi fasilitator dalam pelatihan jurnalisme HIV/AIDS untuk wartawan, yang berlangsung di Bandung pekan lalu. Menurutnya, di Jakarta ada polisi yang terkena HIV akibat menangkap seorang pengedar sekaligus pemakai narkoba. Lho kok bisa? Ceritanya, si pemakai narkoba sebelum ditangkap sem­pat dipukuli hingga tubuhnya mencucurkan darah. Tanpa di­sengaja, darah tersebut mengenai salah satu anggota tubuh polisi yang juga terluka. Kisah tersebut menunjukkan bahwa orang sehat bisa juga terkena HIV. Data yang ada pun sebenarnya hanya estimasi berdasarkan angka prevalensi saja, yakni per­bandingan antara jumlah penderita HIV/AIDS dengan popu­lasi yang ada. Tambahan pula, dalam masyarakat kita masih ada ketabuan untuk berbicara masalah seksual. Tidak heran, ji­ka sampai saat ini masih minim kesadaran orang untuk mengecek apakah darahnya terinfeksi HIV atau tidak. Contohnya, menjelang hari pernikahan. Jarang mau memeriksakan kesehatan seksual masing‑masing pasangan ke dok­ter. Kehidupan seksual Menurut WHO (World Health Organization), kesehatan seksual adalah kombinasi dari bagian kegiatan seksual yang bersifat fisik, emosional, intelektual, dan sosial sehingga seks adalah pen­galaman positif yang dapat meningkatkan kualitas hidup, menjadikan kita orang yang lebih baik dan menjadikan lingkungan kita lebih baik untuk dihuni. Karena itu, sangat penting ba­gi kita untuk peduli dengan kese­hatan seksual. Jangan sampai ki­ta menikah dengan seseorang yang kita tidak ketahui bagaimana kesehatan seksualnya. Sebagai contoh, seorang ibu rumah tangga di Jakarta yang telah menikah selama 4 tahun, kaget menerima hasil tes darah yang menyebutkan dirinya pengidap HIV positif. Bagaimana bisa? Ternyata, tanpa disadari ibu rumah tangga tersebut tertular HIV melalui hubungan seksual dengan suaminya yang sebelum menikah adalah pengguna narko­ba suntik. Sebenarnya, kejadian yang menimpa ibu rumah tangga tersebut bisa dicegah ketika se­belum menikah, dengan terlebih dahulu memeriksakan kesehatan secara menyeluruh ke dokter. Akibat stigma terhadap HIV/AIDS begitu buruk, layanan untuk pemeriksaan HIV/AIDS pun menjadi hal yang sulit. Di negara lain, dokter bisa dengan langsung memeriksa darah pa­siennya untuk kepentingan tes HIV. Di Indonesia berbeda. Dok­ter harus terlebih dulu minta izin (inform consent) dari pasiennya. Di sini uji HIV masih sebatas VCT (voluntary, counseling, and testing). Begitu kuatnya stigma buruk terhadap pengidap HIV/AIDS, telah membuat orang yang datang ke klinik untuk mengikuti tes HIV pun langsung dicap se­bagai orang yang tidak bermoral. Kita seharusnya tidak memper­lakukan pengidap HIV/AIDS se­cara diskriminatif. Orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) juga ingin diperlakukan sama seperti kita yang sehat. Mereka membutuhkan cinta, te­man, serta lingkungan sosial yang bersahabat. Perlakuan masyarakat yang diskriminatif terhadap ODHA bisa jadi dilatarbelakangi oleh ketidaktahuan masyarakat ten­tang apa itu HIV/AIDS. Sulit memang mengubah persepsi masyarakat itu. Sejak virus HIV ditemukan pertama kalinya pada awal tahun 1980‑an di salah satu negara di Amerika Latin, opini publik sudah teracuni oleh stig­ma buruk penyakit AIDS. Apa sebenarnya yang disebut dengan HIV/AIDS itu dan bagaimana seseorang bisa mengidapnya? " AIDS adalah kumpulan gejala penyakit yang didapat dari penu­laran, saat sistem kekebalan tubuh sudah dilumpuhkan oleh HIV. Sedangkan HIV adalah virus yang hidup dan berkem­bang biak di dalam sel CD4 (sel darah putih) yang dikenal sebagai sel kekebalan tubuh. Mengapa kekebalan tubuh kita bisa dilumpuhkan? Hal ini dise­babkan HIV merusak sistem kekebalan tubuh, kemudian membuat orang mudah diserang penyakit. Untuk penyakit lain di luar HIV/AIDS, sel CD4 adalah ten­tara pelindung tubuh kita. Karena itu, jika ada sejumlah penyakit infeksi seperti batuk mencoba menyerang tubuh, sel CD4 akan mencegahnya. Tetapi, saat HIV masuk dan mulai menyerang sel CD4, dalam beberapa bulan, sel CD4 kehilangan kekuatannya melawan HIV. Sel‑sel CD4 itu kalah dan mati. Tubuh kita pun jadi tidak punya tentara pelin­dung tubuh. Jika sel darah putih kita sudah kalah dalam pepe­rangan melawan kuman/virus maka kekebalan tubuh kita akan menurun dan akhirnya kita akan sakit. Untuk kasus penyakit AIDS, virus HIV benar‑benar ganas merusak sistem kekebalan tubuh. Dalam hal ini, saat HIV menye­rang tubuh, meskipun sel darah putih memberikan perlawanan, tetapi dalam beberapa bulan ke­mudian pertahanan sel darah putih akan terus melemah karena digerogoti HIV. Parahnya, sel CD4 merupakan pabrik peng­hasil HIV. Jika sel CD4 sudah kurang dari 200, maka pengidap HIV akan sulit untuk bertahan dari berbagai penyakit. Untuk orang sehat, jumlah sel CD4‑nya sekira 500-­1.200. Akibat minimnya jumlah sel CD4, berbagai kuman penyakit dengan mudah masuk ke dalam tubuh kita. Hal inilah yang menyebabkan pengidap AIDS mudah terserang berbagai macam penyakit. Semakin banyak HIV dalam tubuh, semakin melemah sistem kekebalan tubuh, semakin cepat pengidap HIV menunjukkan berbagai macam gejala penyakit, seperti diare, herpes, cacar perut, dan sebagainya. Saat itulah, pengidap HIV pun berubah status menjadi pengidap AIDS. Penyakit batuk yang tergolong ringan sekalipun bisa membuat seseorang yang mengidap HIV/AIDS sulit bertahan hidup. Untunglah kemajuan ilmu pengetahuan membuat pengidap HIV/AIDS bisa diobati meski penyakit tersebut sampai ini belum bisa disembuhkan. Tetapi, setidaknya obat‑obatan anti retroviral bisa mengurangi pen­deritaan mereka yang terkena HIV/AIDS. Penting sekali bagi mereka yang positif HIV, dia harus segera melakukan pera­watan medis. Dokter akan segera memberikan obat anti retroviral yang berguna untuk menekan perkembangbiakan virus HIV dalam tubuhnya. Sama halnya dengan penderita diabetes akut, penderita HIV/AIDS juga harus minum obat seumur hidup. Jadi, AIDS adalah juga penyakit yang disebabkan virus masuk ke tubuh kita, seperti hal­nya TB (Tuberculosis), flu bu­rung, dan penyakit lainnya. Bahkan, kata dr. Bambang, penggiat IHPCP (Indonesia HIV/­AIDS Prevention and Care Pro­ject), dari segi penularan, penya­kit TB lebih berbahaya daripada AIDS. Pasalnya, kuman TB mu­dah sekali menular melalui udara. Menurut dr. Ronald Jonathan, staf advokasi medis Rumah Ce­mara, HIV sulit menular. Virus ini, katanya, akan masuk ke tubuh melalui hubungan seks yang tidak aman, bertukar jarum, transfusi darah, ibu ke bayi (baik itu melalui darah atau air susu ibu). Penularan yang sering terja­di adalah lewat berhubungan seks dengan orang yang sudah terinfeksi HIV dan melalui jarum suntik yang tidak steril yang di­gunakan oleh penasun. Karena itu, kita tidak perlu takut untuk bersalaman, memeluk, mengobrol, ataupun minum dengan menggunakan gelas milik pengidap HIV/AIDS. Sekalipun ada di an­tara kita yang positif terinfeksi HIV, janganlah hal ini menjadi alasan bagi kita untuk tidak lagi menghargai kehidupan. Terkena HIV/AIDS bukanlah akhir dari segalanya. Selain itu dibutuhkan komit­men kuat dari pemerintah dan pi­hak terkait lainnya untuk menyosialisasi informasi menge­nai kesehatan seksual termasuk di dalamnya masalah HIV/AIDS. Hal ini adalah bagian dari strate­gi integral penanggulangan HIV/AIDS, yakni melalui upaya demand, supply, dan harm reduc­tion. Deklarasi Kesehatan Seksual Milenium 2005 yang di‑launc­hing di Montreal beberapa bulan lalu, salah satu isinya menye­butkan bahwa negara wajib memberikan akses universal un­tuk pendidikan dan informasi tentang seksualitas yang kompre­hensif (menyeluruh). Sayangnya, Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi deklarasi tersebut. (Huminca/"PR")

2 comments: