detikNews
Lemahnya perlindungan konsumen di Indonesia dinilai berakar dari UU Perlindungan Konsumen yang tidak tegas mengatur mediasi antara pihak-pihak terkait. Padahal, di beberapa negara maju, penyedia jasa cuci pakaian (laundry) siap mengganti pakaian pelanggan apabila rusak, hilang atau tertukar, berapapun nilainya.
“Direvisi dulu UU Perlindungan Konsumen, terutama yang mengatur lembaga mediasinya,” kata pengamat hukum perlindungan konsumen dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, Rochani Urip Salami, saat berbincang dengan detikcom, Selasa, (8/6/2010) pagi.
Di beberapa negara, lembaga mediasi tersebut dikenal dengan smile claims court, dengan kedudukan mandiri atau di bawah pengadilan. Jika di Indonesia, diatur dalam UU bernomor 8/1999 yang menyerahkan mediasi konsumen dengan produsen kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
“BPSK? Jauh dari yang kita harapkan. Tak ada gaungnya,” tambah Rochani yang juga Dekan Fakultas Hukum ini.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, lembaga ini belum mempunyai aturan khusus yang mengatur dan hanya menginduk kepada UU. Kekurangan kedua, putusan yang dibuat BPSK tidak mempunyai daya ikat memaksa yang bersifat final, sehingga pihak yang dikalahkan oleh konsumen tidak mau melaksanakan putusan, bahkan mengambil langkah hukum di pengadilan umum.
“Padahal, semangatnya adalah melindungi kerugian yang diderita konsumen dengan proses cepat dan putusan harus ditaati semua pihak,” bebernya.
Dia memberikan contoh, Singapura dan Malaysia telah menerapkan small claims court yang setiap keputusannya disegani dan ditaati oleh produsen/penjual. Seperti di Singapura, antara produsen dan konsumen posisinya sederajat. Dengan tingkat ketaatan hukum atas putusan small claims court sangat tinggi.
Di Indonesia, karena BPSK tak punya daya paksa, akhirnya David Tobing menggugat pengelola jasa parkir karena mengutip uang parkir tak sesuai peraturan sebesar Rp10 ribu pekan kemarin. Di PN Jakarta Pusat, David Tobing menang dengan kewajiban pengelola parkir mengembalikan uang David sebesar Rp 10 ribu tersebut.
“Jadi, harus direvisi UU Perlindungan Konsumen, baru konsumen bisa mempunyai kedudukan yang kuat dalam sengketa hukum,” pungkas Rochani.
No comments:
Post a Comment