Bisnis Indonesia Harian - Detail
Pemberitaan mengenai pembatalan kontrak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional seperti Unilever dan Nestle atas suplai CPO (crude palm oil) dari Sinar Mas cukup menonjol belakangan ini.
Hal tersebut tentu saja terjadi dengan dorongan aksi-aksi masyarakat sipil agar perusahaan-perusahaan CPO-baik produsen maupun konsumen-menunjukan perhatian yang besar terhadap masalah sosial, lingkungan serta dampak yang ditimbulkannya.
Usaha-usaha masyarakat sipil tersebut masih belum cukup-termasuk mendorong inisiatif pengelolaan sawit berkelanjutan-karena semua bermuara pada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Kenapa saat ini isu perkebunan sawit dianggap penting? Boleh jadi, faktor pertimbangan ekonomi seperti luasnya perkebunan sawit yang dimiliki Indonesia, tingginya devisa dari ekspor CPO dan besarnya serapan tenaga kerja menempatkan sawit sebagai komoditas penting.
Laporan Bappenas menunjukan bahwa perkebunan kelapa sawit di lahan gambut (kurang lebih 840,000 ha) ternyata hanya menyumbangkan 0.85% terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) dan menciptakan 3 juta lapangan kerja.
Selain itu, luasan perkebunan kelapa sawit saat ini mencapai 7 juta ha lebih dan terus diperluas, meskipun Indonesia sudah menguasai pasar CPO dunia di samping Malaysia.
Di sisi lain, patahnya asumsi kontribusi ekonomi perkebunan sawit di lahan gambut (yang ternyata sangat kecil ) mengakibatkan dampak signifikan atas emisi karbon, hilangnya keanekaragaman hayati dan potensi jasa lingkungan lainnya.
Artinya, jika perkebunan sawit dibuka dengan proses mengonversi hutan alam-yang mempunyai nilai keragaman hayati tinggi atau nilai konservasi tinggi-maka bisa dikatakan industri sawit skala besar menjadi salah satu penyebab deforestasi dan menjadi ancaman serius bagi keberadaan hutan hujan tropis di Indonesia.
Tak sebanding
Jika dievaluasi, kerugian akibat hilangnya hutan tropis beserta keragaman hayati dan jasa lingkungan lainnya, tidak sebanding dengan kontribusi ekonomi yang diberikan oleh industri sawit skala besar.
Belum lagi praktik-praktik buruk dalam pengelolaan perkebunan sawit yang memperparah kerusakan lingkungan, seperti menggunakan api dalam pembersihan lahan, pengusahaan di lahan gambut.
Aspek sosial yang juga menjadi keprihatinan tersendiri adalah konflik sosial yang muncul akibat industri perkebunan kelapa sawit skala besar memperburuk citra pembangunan perkebunan sawit di Indonesia.
Hak atas tanah, rendahnya upah buruh dan isu sosial lain merupakan masalah-masalah yang butuh dijawab dengan segera. Beberapa data mengenai isu sosial, misalnya, upah serta jaminan kesehatan buruh perkebunan sawit yang rendah.
Berkilau tetapi keruh! Itulah cermin yang diciptakan bisnis dan perkebunan sawit skala besar. Mungkin kita semua masih ingat, krisis ekonomi yang dialami Indonesia saat harga CPO justru melambung tinggi. Ambisi perluasan lahan kebun menggebu, namun ironisnya sekian ribu orang bahkan jutaan ibu-ibu harus antre untuk mendapatkan minyak goreng.
Atau ketika harga CPO di pasar internasional turun drastis pada 2008, maka berita media massa lebih banyak diwarnai oleh petani sawit yang bunuh diri karena utang yang melilit semakin kencang.
Sungguh ironis! Pertanyaan seputar manfaat atas tingginya nilai ekspor CPO dan keuntungan bisnis minyak sawit menjadi tanda tanya besar.
Kajian CIFOR bertajuk The Impacts and Opportunities of Oil Palm in South East Asia (Douglas Shiel et al, 2009) setidaknya menegaskan bahwa perkebunan sawit skala besar berkontribusi sebagai salah satu penyebab deforestasi di Indonesia.
Tidak hanya itu, dampak kerusakan ekologis yang mengakibatkan hilangnya habitat satwa langka seperti gajah, harimau dan orang utan. Erosi dan penurunan kesuburan tanah juga diidentifikasi sebagai dampak pembukaan lahan hutan dalam skala besar dan dampak ini terjadi secara umum di perkebunan (monokultur).
Proses produksi CPO pun tidak lepas dari dampak buruk karena biasanya limbah cair dari pabrik pengolahan sawit dibuang ke sungai. Limbah tadi selain bersifat asam (pH 4-5), mengandung sisa-sisa minyak dan biasanya dibuang dalam kondisi panas (80-90 derajat Celcius).
Terkait konflik sosial, Sawit Watch mencatat 513 konflik berlangsung hingga sekarang antara perusahaan besar dan masyarakat. Hak konsesi dan guna usaha lebih diakui oleh Pemerintah Indonesia dibandingkan dengan hak masyarakat adat atas tanah adatnya. Sehingga dalam perkembangan situasi, para pengusaha lebih memilih lahan yang masih berhutan dan lahan gambut yang diasumsikan bebas dari kepentingan masyarakat atau cenderung bebas konflik.
Ternyata asumsi tadi tidak sepenuhnya benar, karena banyak masyarakat adat yang masih menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan.
Kesaksian-kesaksian atas konflik sosial yang muncul akibat pembangunan atau perluasan kebun sawit skala besar merupakan contoh karut marutnya sektor perkebunan sawit. Belum lagi dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Meskipun dipercaya secara ekonomi bahwa sawit merupakan komoditas yang menguntungkan dan mempunyai prospek pasar yang cukup cerah, hal tersebut tidak serta merta menjadi alasan untuk mengalahkan aspek pembangunan sosial dan lingkungannya.
Mengingat bahwa pembangunan nasional yang berkelanjutan dilandasi oleh aspek ekonomi, sosial dan lingkungan, maka manfaat pembangunan sejatinya harus berorientasi pada keseimbangan antara ketiga aspek tersebut.
OLEH YUYUN INDRADI
Advisor Politik Greenpeace Asia Tenggara
No comments:
Post a Comment