Persepsi tentang Islam akan Berubah oleh Empat Hal - JIL Edisi Indonesia
Persepsi media massa Amerika tentang Islam juga sangat ditentukan oleh bagaimana umat Islam menampilkan potret dirinya di hadapan dunia. Karena itu, dibutuhkan cara-cara kreatif dalam mengetengahkan paras Islam sesungguhnya kepada publik dunia. Demikian perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL), Kamis lalu (8/9), dengan Nadia Madjid, praktisi media Amerika, yang sudah bekerja di Voice of America sejak 5 tahun silam.
Persepsi media massa Amerika tentang Islam juga sangat ditentukan oleh bagaimana umat Islam menampilkan potret dirinya di hadapan dunia. Karena itu, dibutuhkan cara-cara kreatif dalam mengetengahkan paras Islam sesungguhnya kepada publik dunia. Demikian perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL), Kamis lalu (8/9), dengan Nadia Madjid, praktisi media Amerika, yang sudah bekerja di Voice of America sejak 5 tahun silam.
NOVRIANTONI (JIL): Mbak Nadya, beberapa waktu lalu Presiden AS, George W Bush, kembali menegaskan bahwa AS sedang berperang melawan apa yang ia sebut kelompok fasis Islam (Islamic fascist) yang sedang berjuang melawan nilai-nilai kebebasan Barat. Bisakah Anda gambarkan persepsi media massa AS tentang Islam saat ini?
Nadya MadjidNADYA MADJID: Pertama, persepsi masyarakat Amerika tentang Islam kurang lebih memang dibentuk oleh media. Tapi itu bukan berarti para elit politik Amerika juga mampu mendiktekan persepsi media tentang apa yang sedang mereka inginkan. Kalau Pemerintahan Bush sedang membangun persepsi tentang musuhnya lewat slogan perang melawan terorisme (war on teror), media Amerika tidak akan bisa terus-menerus terpengaruh oleh penggunakan istilah itu. Dalam pengamatan saya, media massa di Amerika cukup independen dalam tugasnya.
Bagi saya, yang membentuk persepsi media Amerika terhadap Islam dan dunia Islam adalah apa yang sedang terjadi di kalangan umat Islam dan dunia Islam sendiri. Misalnya tentang apa yang terjadi di Irak setelah ageresi Amerika di sana. Kini, sudah banyak media massa Amerika yang mulai mempertanyakan banyaknya anak-anak Amerika yang terbunuh setelah dikirimkan untuk menjaga stabilitas ke sana. Yang juga disorot, mengapa masih terjadi konflik Sunni-Syiah. Dari situ mereka melihat masih adanya tindak kekerasan di antara sesama masyarakat muslim sendiri. Media Amerika juga rutin melihat apa yang terjadi di Afganistan dan beberapa tempat di Indonesia, terutama jika ada konflik-konflik yang terkait dengan perberbedaan agama.
Terkait soal Islam tadi, yang paling dilihat media Amerika sampai saat ini adalah kurangnya suara-suara moderat Islam yang secara tegas mengutuk tindak-tindak kekerasan yang dilakukan oleh para tersangka terorisme yang melibatkan mereka-mereka yang memakai label Islam. Itu yang sangat mereka sayangkan.
Beberapa waktu lalu, ada sebuah sebuah survei menarik yang dilakukan oleh CAIR (Council on American-Islamic Relations), sebuah dewan yang membina hubungan antara warga Amerika dengan warga Islam. Dari survei itu mereka menyimpulkan bahwa mayoritas warga Amerika bersedia mengubah persepsi mereka menjadi lebih baik terhadap masyarakat muslim seandainya mereka melihat empat hal.
69% responden survei mengatakan akan mengubah persepsinya tentang Islam seandainya komunitas muslim lebih menyuarakan suara-suara tidak setuju atau mengutuk tindakan-tindakan terorisme. Selama ini, mereka merasa kurang mendengarkan itu. Kedua, jika perlakuan masayarakat muslim terhadap perempuan lebih baik lagi. Ketiga, jika umat muslim lebih berusaha membuka diri dan bergaul dengan warga Amerika. Keempat, bila umat muslim tampak lebih toleran terhadap warga nonmuslim di negeri-negeri muslim sendiri.
JIL: Apakah beberapa pandangan negatif itu didasarkan pada fakta di masyarakat muslim Amerika atau hanya dugaan media saja?
Dalam pemilihan berita, media mana saja memang selalu mempertimbangkan apakah berita itu akan menarik pendengar, pembaca, atau penonton yang lebih luas atau tidak. Kriteria semacam itu harus kita akui. Mungkin itu suatu kesalahan dalam bermedia. Tapi saya melihat, fakta-fakta tentang tindakan-tindakan baik yang dilakukan oleh banyak muslim, selalu teredam oleh tindakan-tindakan yang lebih bombastis, seperti tindakan terorisme yang membunuh banyak orang sekaligus.
JIL: Anda ingin mengatakan bahwa umat Islam sendirilah yang membentuk citra diri mereka di hadapan media Amerika?
Saya rasa, umat Islam memang harus melihat ke dalam dulu. Memang, tindakan banyak politikus atau penguasa Amerika saat ini juga tidak bisa dimaafkan. Tetapi apa yang menjadi pilihan mereka di dalam negrinya sendiri bukanlah urusan kita. Mereka sudah punya sistem sendiri yang dapat menciptakan checks and recheck yang bisa menampilkan objektivitas dan keadilan dalam apa yang mereka lihat.
Terbukti, sekarang banyak sekali warga Amerika yang mulai mengakui bahwa perang di Irak adalah perang yang salah. Tapi perubahan persepsi itu tentu bukan urusan kita. Yang harus kita pikirkan adalah bagaimana mengubah persepsi orang lain dengan menampilkan gambaran bahwa agama kita adalah agama kedamaian dan agama kita adalah agama yang mengajarkan hal-hal yang baik.
JIL: Tidakkah beberapa media Amerika sudah mengidap semacam ketakutan yang berlebih-lebihan terhadap ancaman Islam dengan terlalu banyak mengekspos sosok-sosok seperti Usamah bin Laden?
Saya kira, media Amerika tidak sedang berniat menyudutkan umat Islam sendiri. Saya selalu membaca beberapa tajuk rencana koran Amerika. Di situ banyak sekali kritisisme atas ulah rezimnya sendiri. Misalnya ketika Presiden Bush menyampaikan pidato berdurasi 44 menit dengan menyebut nama Usama bin Laden sebanyak 17 kali. Kritik para insan pers di Amerika kira-kira seperti ini: ”Wah, Bush lagi-lagi menggunakan taktik untuk memperkuat posisinya sebagai pemimpin Amerika dengan menakut-nakuti warga Amerika.”
Jadi, kalau dilihat dari situ, media Amerika masih terlihat cukup independen dalam menilai situasi dunia dan Islam khususnya. Tapi sayangnya, suara-suara moderat Islam memang kurang terdengar. Tidak ada fenomena berbondong-bondongnya umat Islam mengutuk tindakan-tindakan para pembom bunuh diri atau aksi perencana pemboman pesawat terbang, dan aksi-aksi lainnya.
JIL: Apakah persepsi media massa Amerika terhadap Islam sudah berdampak pada kehidupan sehari-hari umat Islam di Amerika? Beberapa laporan menyebutkan, anak-anak muslim berwajah Arab kini dipanggil Usamah...
Saya rasa itu fenomena yang tidak umum. Sebab sebelum tragedi 11 September 2001, kehidupan sehari-hari umat Islam Amerika tidak terlalu kentara dalam masyarakat Amerika. Bahkan ada kritik terhadap masyarakat Islam karena dianggap kurang banyak bergaul dengan masyarakat di luar komunitas muslim. Tapi setelah 11 September, keadaan mulai berubah. Orang Amerika mulai bertanya-tanya siapakah para teroris itu, apa paham mereka, dan apakah ajaran Islam juga terlibat di dalamnya?
Sampai tahun 2004, pusat penelitian PEW menemukan kenyataan bahwa hanya 2% respondennya yang mengaku sangat tahu tentang Islam. Selebihnya mungkin tidak peduli atau tidak tahu-menahu. Tapi beberapa stereotipe tentang Islam memang sudah ada dan itu telah menjadi bahan olokan bagi para komedian Amerika sejak dulu. Parodi dan cara menampilkan steriotipe seperti itu juga sudah banyak dilakukan mereka, terutama terhadap warga kulit hitam, orang Yahudi, ataupun orang-orang Kristen yang baru melek Kristen.
JIL: Teknik seperti itu mungkin biasa dan membuat orang Amerika tertawa. Tapi bagaimana umat Islam Amerika menanggapinya?
Saya rasa, kita memang harus mulai coba menertawakan diri sendiri. Setelah 11 September, di Amerika banyak juga bermunculan komedian muslim yang melakukan tur dalam rangka memasang wajah Islam yang humoris. Dan mereka-mereka itu tampaknya sudah bisa menertawakan diri sendiri. Misalnya, untuk menyindir adanya hak laki-laki untuk berpunya lebih dari satu istri, mereka menampilkan lakon suami yang lupa nama para istrinya. Atau, dia tidak ingat lagi anaknya dihasilkan dari istri yang mana. Bagi orang Amerika, Anda jangan merasa terlalu penting untuk tidak bisa diparodikan.
Saya pernah menonton aksi seorang komedian perempuan muslim Amerika yang berbadan gemuk. Dia bercerita kalau dia pernah dipanggil petugas keamanan karena dikira sedang membawa bom di pinggangnya. Lalu dia bilang, ”Oh, ini bukan bom, tapi lemak saya!” Sontak, orang-orang yang menyaksikannya tertawa.
Jadi, parodi-parodi seperti itu sangat umum di Amerika dan mungkin akan makin banyak. Salah satu iklim yang cukup positif di Amerika adalah kuatnya hak tiap orang untuk mengutarakan pendapatnya sebebas mungkin. Dan itu sangat baik diutarakan lewat humor. Tapi saya rasa, humor-humor seperti itu mungkin belum bisa dihidupkan di luar Amerika.
JIL: Salah satu persepsi Amerika tentang umat Islam adalah soal perbedaan sistem nilai dan budaya yang mereka anut dengan yang dianut orang-orang Islam, terutama yang puritan. Apakah orang-orang Islam Amerika menganut nilai-nilai Islam yang puritan sehingga dianggap bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai kebebasan Amerika?
Tidak. Saya rasa orang Islam di Amerika, sebagaimana yang saya bayangkan sejak lama, sudah sangat menghargai kebebasan dan individualitas. Mereka berpaham bahwa seseorang yang beriman itu akan memikul dosanya sendiri-sendiri, bukan ditimpakan pada orang lain. Ibadah kita merupakan tanggung jawab kita langsung kepada Tuhan, tidak perlu diawasi negara. Jadi, Islam yang diterapkan di Amerika juga adalah agama yang sangat pribadi, yang sangat individual. Kalau saya mau salat, saya bisa salat di kantor dan itu tidak akan mengganggu orang-orang yang bekerja dengan saya.
Justru karena mereka begitu privat dalam cara beragamanya, orang-orang nonmuslim menganggap mereka cukup misterus. Tapi setelah 11 September, orang Amerika mulai bertanya-tanya: apakah Islam itu begitu? Dalam sejarah Amerika, hanya sekarang saja angka penjualan Alqur’an dan buku-buku tentang Islam begitu tinggi. Bahkan, lembaga yang menjembatani hubungan antara Islam dan warga Amerika, CAIR, pernah membagi-bagikan Alquran gratis agar masyarakat Amerika lebih mengenal Islam dari Alqur’an langsung.
JIL: Apakah persepsi media Amerika tentang Islam ikut mengubah pola hidup orang Islam Amerika agar misalnya lebih kompromistis dengan pola hidup dan kebudayaan Amerika?
Saya rasa, pola hidup warga muslim Amerika setelah 11 September tidak banyak berubah. Mereka tetap menjalankan ibadah dan tradisi mereka, bahkan tradisi yang datang dari negeri asalnya. Satu hal yang mungkin berbeda: kini mereka lebih mengerti harus berkata apa saat disodorkan pertanyaan-pertanyaan tentang apa itu Islam, apakah benar Islam mengajarkan kekerasan, dan hal-hal seperti itu. Mereka kini dituntut untuk siap menjelaskan hal seperti itu.
Saya punya pengalaman kecil dalam soal seperti itu saat naik taksi. Supirnya, seorang berkulit hitam, bertanya: ”Anda dari Thailand, ya?” Saya bilang, saya dari Indonesia. Terus dia bilang, ”Oh Indonesia. Di mana ya negaranya?” Saya timpali, ”Wah, Anda kok tidak tahu Indonesia. Padahal Indonesia itu negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia.” Dia bilang, ”Ah, masak!” Terus dia nanya, ”Anda muslim?” Saya jawab, ya. ”Kok tidak berjilbab?” tanyanya lagi. ”Saya menganut paham bahwa saya tidak harus berjilbab,” jawab saya.
Terus dia nanya lagi, ”Kenapa perempuan muslim mesti berjilbab?” Saya jawab, ”Ya, karena ada ajaran bahwa seorang perempuan harus menjaga dirinya dari penglihatan orang-orang lain yang bukan muhrimnya.” ”Berarti, itu dijaga dan ditutupi hanya untuk suaminya?” tanya dia lagi. Saya bilang, ya. Lalu dia bilang: ”Oh, indah sekali bagiku.” Dia tertawa, tapi respek dengan jawaban saya.
Bagi saya, walau itu pengetahuan yang kecil tentang Islam, tapi setidaknya stereotipe tentang Islam itu tidak menjadi barang asing dan tabu baginya. Itu sudah cukup bagi saya, karena dengan begitu, dogma agama kita tidak terlalu dianggapnya serius dan menakutkan bagi dia.
O, ya, dalam pembicaraan itu saya juga sempat membandingkan antara muslimah yang berjilbab dengan para biarawati yang juga mengenakan penutup kepala dan lain-lain. Saya bilang, para biarawati itu juga menutupi tubuhnya karena mereka juga ingin membatasi gerak-gerik dan keinginannya. Dia jadi lebih mengerti karena itu dekat dengan ajaran agamanya. Jadi, paralelisme pandangan seperti itulah yang mungkin perlu diketengahkan dan digalakkan oleh umat Islam dalam berdialog dengan nonmuslim.
Dan memang, 59% responden survei CAIR mengatakan bahwa seharusnya kalangan muslim lebih banyak mengatakan hal-hal yang sama atau sisi-sisi kesamaan Islam dengan agama lainnya, terutama dalam proses berdialog dan berinteraksi dengan nonmuslim. Perlu ditunjukkan apa sih yang sama antara Islam dengan ajaran-ajaran Kristen, Yahudi, atau agama lainnya, sehingga Islam tidak menjadi barang asing atau paham yang amat berseberangan dengan mereka.
JIL: Tapi yang banyak disoroti media Barat dan terutama Amerika saat ini kan doktrin Islam yang lebih ortodoks. Apakah itu yang dianggap sebagai ancaman oleh Amerika?
Dari sisi doktrin sih, tidak. Media masa Amerika baru melihatnya sebagai ancaman ketika sudah terjadi tindakan kriminal. Saya melihat, media massa Amerika tidak sedang menggugat ajaran Islam itu sendiri, atau mencap sekolah-sekolah tertentu bertanggungjawab atas tindak kriminal yang dilakukan beberapa umat Islam. Mereka memang sepakat kalau para kriminil harus dihukum. Tapi yang jadi pertanyaan mereka: mengapa tidak ada dari kalangan Islam atau sekolahan tertentu yang mengatakan bahwa mereka memang layak dihukum. Itu saja.
JIL: Mbak Nadya, bisakan dikatakan kalau kritisisme media Amerika saat ini sangat kurang dalam menanggapi watak imperialis dan kecenderungan unilateral rezim Bush dalam bertindak terhadap banyak negara?
Saya melihat, justru saat inilah media Amerika semakin panas dalam mengkritik rezim Bush. Para pembuat tajuk rencana di banyak surat kabar sudah terlihat sangat pedas dalam mengkritik Bush. Minggu lalu, seorang wartawan Amerika terlibat percekcokan dengan penanggungjawab media Gedung Putih karena kritik keras wartawan itu terhadap Bush dan pemerintahannya. Jadi, kalau dilihat dari aspek itu, kritisisme medianya Amerika sudah cukup memadai. Karena itu, sekarang sudah banyak orang Amerika yang berpaling dari partainya Bush, Partai Republik. Para pendukung liberalisme di Amerika juga sudah mulai berbondong-bondong menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap status quo yang sekarang berlaku di Amerika.
Jadi, saya melihat media Amerika sudah cukup proporsial dalam mengkritik Bush. Sebab saya tinggal di Washington, dan belakangan ini sering sekali melihat diadakannya demo-demo menentang Bush. Waktu berita tentang agresi Isreal di Lebanon kemarin sedang panas-panasnya, baik pendukung Libanon atau Suriah, pendukung Hamas atau Israel, sama-sama berdemonstrasi secara berdampingan. Jadi di dalam negeri Amerika sendiri sudah berkecamuk banyak keberatan terhadap apa yang terjadi saat ini.
Saya kira, salah satu kelebihan masyarakat Amerika dalam bermedia adalah: mereka sudah memiliki sistem pemerintahan yang mantap, sehingga proses check and balance bisa diterapkan dengan baik. Dengan begitu, rakyat Amerika dengan gampang bisa melihat masa depan mereka. Kini mereka seakan mengatakan, ”Kami sudah melakukan kesalahan dalam memilih presiden yang terlihat kurang kompeten. Itu berarti di masa yang akan datang, kami tidak akan memilih seperti dia lagi.” []
No comments:
Post a Comment