UNAIR: Aborsi dan Hak Reproduksi Perempuan
Aborsi dan Hak Reproduksi Perempuan ABORSI merupakan masalah kontroversial bagi kesehatan reproduksi. Di Indonesia, pelayanan aborsi aman yang dilakukan dokter atau bidan, rawan penggrebekan polisi karena dianggap bertentangan dengan hukum. Akibatnya, perempuan terpaksa aborsi secara sembunyi-sembunyi-lewat pemijatan maupun penusukan alat ke rahim oleh dukun maupun minum obat atau jamu peluntur- yang bisa menimbulkan komplikasi dan berakibat kematian bagi perempuan. Kematian akibat aborsi menyumbang 11,1 persen terhadap angka kematian ibu yang mencapai 373 per 100.000 kelahiran hidup (Survei Kesehatan Rumah Tangga 1995). Angka kematian ibu Indonesia tertinggi di Asia Tenggara. Sebenarnya, kematian tragis itu bisa ditekan dengan penyediaan pelayanan aborsi yang aman. Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) Cairo tahun 1994 dan Konferensi PBB di Beijing tahun 1995 menyepakati, akses pada pelayanan aborsi yang aman merupakan bagian dari hak perempuan untuk hidup, hak perempuan untuk menerima standar pelayanan kesehatan yang tertinggi, dan hak untuk memanfaatkan kemajuan teknologi kesehatan dan informasi. Dalam hal ini perlindungan hukum untuk penyelenggaraan aborsi yang aman diperlukan untuk menjamin hak perempuan untuk menentukan fungsi reproduksi dan peran produksi tubuhnya sendiri. Persoalannya, secara hukum aborsi dilarang di Indonesia. Aborsi dihubungkan dengan ulah remaja atau perempuan yang hamil akibat pergaulan bebas, sehingga aborsi dipertentangkan dengan nilai moral dan agama. Kenyataannya, data Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) tentang survei di Jakarta, Medan, Surabaya, dan Denpasar, menunjukkan 89 persen aborsi dilakukan wanita yang menikah. (Kompas, 7 Desember 1997) Jajak pendapat Hasil jajak pendapat yang diungkapkan dalam dialog publik "Hak Reproduksi Perempuan dan Aborsi yang Aman" yang diselenggarakan Forum Kesehatan Perempuan, Kamis (14/12), menunjukkan pada dasarnya masyarakat setuju dengan pengguguran kandungan (aborsi), jika keputusan medis dan psikologis ditentukan oleh dokter melalui proses konseling. Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bekerja sama dengan Mitra Perempuan, Ford Foundation, Fenomena, Universitas Atma Jaya dan Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang dipaparkan Ketua Pengurus Harian YLKI Dra Indah Suksmaningsih MPM, 83,50 persen dari 600 responden perempuan dan laki-laki yang dipilih secara acak dari buku telepon di lima wilayah DKI Jakarta dan dihubungi lewat telepon menyatakan setuju. Sebanyak 85,11 persen mereka yang setuju adalah perempuan menikah. Lebih dari setengah jumlah responden (59 persen) setuju adanya tempat aborsi (rumah sakit, klinik) yang dilakukan secara sah, aman, dengan standar kualitas terjamin. "Hasil jajak pendapat ini mengikis keraguan tentang apakah aborsi merupakan hal yang dapat diterima masyarakat jika terdapat ancaman serius bagi kesehatan secara fisik, psikologis dan atau jiwa perempuan," ujar Indah. Zumrotin K Susilo dari Forum Kesehatan Perempuan menyatakan, kehamilan tidak dikehendaki bisa disebabkan kurangnya akses pada alat kontrasepsi atau kegagalan kontrasepsi, sementara anak sudah banyak dan kemampuan ekonomi tidak memungkinkan. Selain itu juga karena incest atau perkosaan. Kegagalan kontrasepsi, seperti dikemukakan Ketua POGI Prof dr Gulardi H Wiknjosastro, termasuk pada vasektomi dan tubektomi, terjadi sekitar dua persen. "Pelarangan aborsi tanpa memberikan solusi adalah tidak rasional. Jika dilarang, pemerintah harus membuat tempat penampungan bagi perempuan selama kehamilan dan melahirkan serta ikut menanggung pemeliharaan anak yang dilahirkan," kata Zumrotin. Wacana aborsi, seperti yang diungkapkan aktivis perempuan Myra Diarsi, sering dipertentangkan dengan kepentingan agama, sehingga terjadi saling hujat di masyarakat. Padahal yang terjadi adalah kelalaian negara. Pemerintah Indonesia memilih bentuk negara sekuler, namun urusan privat diserahkan kepada agama. Karenanya, pemerintah harus ditagih untuk bersikap jelas dan transparan mengenai aborsi. Hambatan Hal lain yang menghambat pelayanan aborsi, demikian Prof dr Sudraji Sumapraja SpOG dari POGI, adalah sumpah dokter Indonesia, yang antara lain menyatakan "menghormati semua hidup insani mulai dari saat pembuahan". Artinya, kehidupan dianggap mulai saat sel telur dan sperma bertemu. Hal itu menyebabkan aborsi dipandang sebagai kejahatan terhadap nyawa. Menurut Sudraji, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berasal dari Wetboek van Straftrecht (WvS) melarang aborsi untuk mencegah kematian ibu, mengingat zaman dulu risiko aborsi cukup tinggi, karena dilakukan tabib, dukun beranak atau tukang obat. Peraturan aborsi diperbaiki lewat UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, namun lafal sumpah dokter menghambat penyusunan peraturan pemerintah untuk melaksanakan UU itu. "Di luar negeri sumpah seperti itu tidak digunakan lagi. Untuk menyediakan pelayanan aborsi aman perlu amandemen KUHP dan UU No 23/1992 dengan mengubah definisi aborsi sesuai pengertian kedokteran yaitu pemberhentian kandungan sebelum janin mampu hidup di luar kandungan, yaitu sampai usia kandungan 22 minggu," urai Sudraji. Di negara maju, menurut Prof Dr dr FA Moeloek dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), aborsi juga masih menjadi pro-kontra. Hasil survei di Finlandia menunjukkan, mayoritas yang setuju abortus adalah para perawat. Sementara yang tidak setuju adalah para bapak. Moeloek, saat menjabat sebagai Menteri Kesehatan, pernah menyatakan akan mereformasi UU No 23/1992. Namun sebelum sempat melaksanakan niatnya, terjadi pergantian presiden dan kabinet. Sejumlah negara Islam, seperti Tunisia, Turki, dan Mesir, menurut dr Sugiat yang pernah menjadi Ketua Majelis Pembinaan Kesehatan Muhammadiyah, mengizinkan aborsi. Menurut Maria Ulfah dari Fatayat NU, dalam Islam ada beragam pendapat tentang aborsi. Secara umum aborsi yang dilakukan di atas usia kehamilan 120 hari dilarang. Namun sebelum 120 hari, ada mazhab yang mengizinkan maupun melarang aborsi. Jalan keluar untuk memberikan pelayanan aborsi yang aman bagi perempuan adalah mengamandemen KUHP dan UU No 23/1992. Namun, prosesnya tidak mudah dan perlu waktu panjang. Sambil menunggu, Ketua Advokasi Profesi POGI dr Sukarman SpOG mengusulkan, pemerintah cq Menteri Kesehatan atau Direktur Jenderal Pelayanan Medik membuat surat keputusan atau edaran kepada aparat terkait (kepolisian) mengenai sikap terhadap aborsi dan penyediaan pelayanan aborsi yang aman. Dengan demikian, tidak ada lagi perempuan yang terinfeksi atau meninggal karena aborsi. Dan tidak ada lagi eksploitasi ekonomi dengan menarik biaya tinggi terhadap tindakan aborsi. (nmp/atk) Kompas CyberMedia Minggu, 17 Desember 2000
No comments:
Post a Comment