Translate
Wednesday, February 06, 2008
serikat buruh di indonesia
FLEKSIBILITAS PASAR KERJA DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA
3. FLEKSIBILITAS PASAR KERJA : ASUMSI DAN REALITAS
Pasar tenaga kerja fleksibel merupakan sebuah institusi dimana pengguna tenaga kerja (employer) dan pekerja serta pencari kerja bertemu pada suatu tingkat upah tertentu dimana kedua belah pihak memiliki keleluasaan dalam menentukan keputusan untuk bekerjasama tanpa hambatan sosial politik. Keleluasaan ini merupakan strategi adaptasi masing-masing terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya (Meulders & Wilkin, 1991; Ul Haque, 2002).
Menurut para pendukung gagasan pasar kerja fleksibel, prinsip-prinsip pasar kerja ini diasumsikan menghasilkan dua efek sekaligus. Persaingan yang terbuka dalam pasar yang fleksibel dan bebas dari intervensi non-ekonomi akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik di satu sisi dan di sisi lain mengurangi tingkat kemiskinan melalui pemerataan kesempatan kerja dan perbaikan tingkat pendapatan (Rapley, 1997). Hal ini karena pasar diserahkan sepenuhnya kepada pelaku-pelaku ekonomi di dalam melakukan pertukaran rasional. Berbagai peraturan yang membatasi dan menghambat gerak para pelaku ekonomi tersebut ditiadakan.
Di dalam pasar tenaga kerja, interaksi yang bebas di antara pengguna tenaga kerja (employer) dengan tenaga kerja (pekerja atau pencari kerja) dipandang sebagai kondisi yang perlu (necessary condition) bagi pertumbuhan ekonomi. Pengguna tenaga kerja bebas mencari tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan rasional pengguna, sedangkan tenaga kerja bebas memilih pengguna tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan rasional tenaga kerja (Islam, 2001). Kebutuhan rasional pengguna ditentukan oleh jenis dan kapasitas produksi yang dibutuhkan sesuai dengan persaingan yang dihadapinya dalam pasar komoditas. Kebutuhan rasional tenaga kerja ditentukan oleh seberapa jauh pendapatan yang diberikan oleh pengguna tenaga kerja dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Islam, 2001).
Di dalam sistem pasar tenaga kerja yang fleksibel, keleluasaan dan kebutuhan-kebutuhan tersebut diasumsikan dapat saling terpenuhi. Hal ini karena pemakai kerja mendapat kemudahan untuk merekrut dan memberhentikan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhannya. Hambatan regulasi dan campur tangan negara untuk merekrut dan melakukan PHK dikurangi atau bahkan ditiadakan. Biaya rekrutmen dan PHK diperkecil. Model hubungan kerja berdasarkan sistem kontrak dan outsourcing diterapkan dan diperluas cakupannya untuk memungkinkan fleksibilisasi tersebut. Jam kerja dan besaran upah difleksibilisasikan sesuai dengan siklus bisnis atau fluktuasi permintaan pasar akan barang atau jasa yang diproduksi. Fleksibilisasi seperti ini akan menciptakan efisiensi produksi dan maksimalisasi profit modal.
Dari sisi tenaga kerja, pekerja didorong untuk tidak terikat pada satu pemberi kerja (employer) dalam jangka waktu lama, melainkan dapat berpindah-pindah pekerjaan dengan pilihan tingkat pendapatan yang lebih baik. Kemudahan berpindah kerja tersebut diasumsikan dapat membuka peluang kesempatan kerja yang lebih besar kepada lebih banyak pencari kerja karena pekerjaan akan menjadi selalu tersedia bagi para pencari kerja (World Bank, 2005, 2006). Konsep keamanan lapangan kerja (employment security) menjadi lebih penting dibanding keamanan kerja (job security) (RTD dengan ekonom, 2005).
Fleksibilitas pasar kerja juga menjamin terbukanya peluang para pekerja di sektor informal untuk berpindah ke sektor formal yang lebih aman dan mensejahterakan (World Bank, 2005; World Bank 2006). Dengan semakin banyak orang bekerja di sektor formal, maka akan lebih banyak pekerja yang memperoleh jaminan perlindungan hukum formal, tunjangan kesehatan, pendidikan dan pensiun, dan peningkatan keterampilan. Keseimbangan gender pun dianggap menjadi lebih baik karena para perempuan yang dominan di ekonomi informal dapat berpindah ke sektor formal. Dengan demikian sektor informal yang dipandang rentan terhadap eksploitasi kerja serta memiliki tingkat produktifitas yang lebih rendah akan berkurang dominasinya dan berganti ke arah dominasi sektor formal yang lebih aman dan produktif.
Sementara itu dari sisi hubungan kerja, fleksibilitas pasar tenaga kerja dapat mengurangi dominasi serikat buruh yang dianggap terlalu mempertahankan kepentingan aristokrasi pekerja tetap dengan mengorbankan kesempatan kerja bagi penganggur (Douglas, 2000). Serikat buruh juga dianggap menghambat fleksibilitas modal dalam menghadapi fluktuasi tekanan pasar. Fleksibilitas biaya tenaga kerja dan fleksibilitas cara produksi yang diperlukan oleh modal untuk melakukan efisiensi biaya produksi sering tidak dapat dengan mudah dilakukan karena mendapat tekanan serikat buruh dan kekuatan kolektifnya. Melalui bentuk hubungan kerja kontrak dan outsourcing, sistem kolektivisme dalam hubungan industrial mulai digeser ke arah individualisme. Selain bentuk hubungan kerja tersebut, individualisasi juga dilakukan terhadap sistem pengupahan dan penyelesaian perselisihan. Individualisasi hubungan-hubungan kerja dianggap sebagai kunci penting untuk mendorong produktivitas dan mengurangi kontrol kolektif serikat buruh terhadap kepentingan-kepentingan produksi dan ekspansi modal.
Keseluruhan prinsip pasar kerja fleksibel tersebut diyakini mempunyai efek positif bagi kebutuhan pertumbuhan ekonomi dan pemecahan masalah pengangguran serta kemiskinan. Prinsip-prinsip tersebut dipandang sangat sesuai dengan dominasi sistem perekonomi liberal yang berkembang meluas dewasa ini. (RTD dengan Bappenas dan APINDO, 2006) . Sebaliknya sistem pasar tenaga kerja yang kaku dipandang tidak dapat memberi peluang bagi pertumbuhan ekonomi dan pemecahan masalah pengangguran dan kemiskinan. Pasar kerja seperti ini dianggap cenderung tertutup khususnya bagi penganggur dan kelompok pekerja ekonomi informal untuk masuk ke sektor formal. Hal ini karena pekerja-tetap selalu mempunyai kecenderungan untuk berusaha mempertahankan keamanan dan keuntungan kerja (World Bank, 1995; Douglas, 2000). Di tingkat produksi, kekakuan sistem pasar kerja (labour market rigidity) juga dianggap tidak memacu produktivitas kerja karena tingkat kompetisi di antara pekerja cenderung rendah akibat rasa aman dalam pekerjaannya (world Bank, 2006). Pasar kerja yang kaku membuat biaya tenaga kerja menjadi tidak fleksibel karena jumlah dan jenis pekerja yang digunakan tidak dapat menyesuaikan fluktuasi tekanan persaingan dalam pasar komoditas.
Suatu pasar tenaga kerja yang efektif sangat ditentukan oleh kebijakan dan bentuk peran yang diambil oleh negara. Para penggagas pasar kerja fleksibel menunjukkan bahwa sistem pasar seperti ini akan menghasilkan efek yang positif jika ada sebuah kebijakan pasar tenaga kerja yang koheren dan terintegrasi dengan sistem hubungan industrial, strategi industrialisasi dan sistem jaminan sosial yang baik. Secara lebih spesifik struktur pasar tenaga kerja yang ditandai oleh over supply dari buruh terampil, aksesibilitas yang luas terhadap informasi mengenai pasar tenaga kerja dan penarikan sumber dana untuk jaminan sosial yang diredistribusikan secara merata menjadi faktor penting yang menentukan efektivitas pasar tersebut (ELABORASI).
3.2. Kebijakan-kebijakan Fleksibilitas Pasar Tenaga kerja
Di negara-negara industri maju sistem pasar kerja yang fleksibel berkembang menjadi arus utama strategi kebijakan ekonomi. Eropa yang telah lama menganut konsep welfare-state dengan perlindungan tenaga kerja yang kokoh mengubah secara signifikan sistem pasar kerjanya menjadi lebih fleksibel (Bamber & Lansbury, 1993; Newsweek, 2004). Demikian pula Jepang yang lama menganut sistem long-life employment kini mengubah sistem tersebut ke arah pasar kerja yang lebih fleksibel (Weathers, 2001; Kuwahara, 1993). Bank Dunia dan IMF juga menjadikan prinsip ini sebagai resep pembangunan sosial ekonomi yang ditawarkan kepada negara-negara berkembang. Prinsip ini diletakkan dalam satu paket usulan kebijakan liberalisasi ekonomi serta pemecahan masalah kemiskinan dan pengangguran sekaligus. Index Level of labour Market Rigidity Iseperti hiring & firing cost) kerap digunakan sebagai indikator-indikator tingkat keterbukaan suatu negara terhadap investasi yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus indikator tingkat keterbukaan kesempatan kerja bagi kelompok penganggur dan besarnya peluang peralihan tenaga kerja dari sektor informal yang miskin ke sektor formal yang lebih mensejahterakan (World Bank, 2006; Bernabè & Krstić, 2005).
Di Indonesia, gagasan pasar kerja fleksibel disokong dengan kuat oleh pemerintah, pengusaha, dan kalangan ekonom neoklasik. Gagasan ini dipandang sebagai sebuah langkah strategis untuk memecahkan masalah kemiskinan dan pengangguran sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi. Sistem pasar kerja yang ada selama ini dipandang terlalu kaku[1] dan tidak membantu pemecahan masalah pengangguran yang kini telah mencapai 10,4% (CEK), tingginya angka kemiskinan (39 juta jiwa penduduk miskin), terlalu besarnya konsentrasi penduduk di sektor ekonomi informal, rendahnya pertumbuhan investasi (BKPM), serta tingginya tingkat ketidakpastian iklim bisnis di Indonesia. Untuk itu beberapa langkah kebijakan diambil oleh pemerintah untuk melakukan restrukturisasi pasar kerja. Langkah-langkah tersebut adalah 1) perubahan kebijakan ketenagakerjaan yang diintegrasikan ke dalam satu paket kebijakan bersama dengan rencana pertumbuhan investasi, seperti perpajakan, perijinan investasi, dan lain-lain; 2) mengintegrasikan perubahan kebijakan ketenagakerjaan dengan konteks pemecahan masalah kemiskinan dan pengangguran (RTD dengan Bappenas dan APINDO, 2007).
Sejarah peralihan dari model korporatisme Orde Baru Indonesia ke arah bentuk baru individualisme pasar tidak didahului oleh sejarah peran negara yang efektif dalam pembangunan model hubungan industrial yang koheren dan sistem kesejahteraan sosial ekonomi pekerja yang efektif (Islam, 2001; Hadiz, 1997; Manning, 1993) . Kondisi ini melahirkan sejumlah masalah yang mendasar dari peran negara di dalam konteks transisi sistem pasar tenaga kerja. Permasalahan yang sangat esensial di dalam kedua konteks tersebut adalah permasalahan penegakan hukum (law enforcement), fungsi pengaturan negara (regulator) pasar tenaga kerja, dan kelemahan sistem jaminan sosial.
Dalam beberapa kasus persoalan fleksibilitas hubungan kerja terutama dalam hal pengerahan tenaga kerja outsourcing telah membawa efek potensi konflik horizontal di antara serikat dengan masyarakat sekitar yang membuka bisnis penyediaan/penyalur tenaga kerja . Beberapa kasus lain menunjukkan indikasi bahwa tekanan para pelaku bisnis penyalur tenaga kerja terhadap perusahaan cukup kuat dan efektif dan sebenarnya berpotensi untuk membentuk aliansi sementara pengusaha dan serikat untuk menciptakan kesejahteraan pekerja tidak tetap. Kasus menunjukkan rekrutmen tenaga kerja kini tak lagi sepenuhnya berada di tangan perusahaan berdasarkan perhitungan kebutuhan dan target produksi, akan tetapi harus dikombinasi dengan intervensi penyalur tenaga kerja yang ikut menentukan berapa banyak tenaga yang akan direkrut dan kapan harus dilepas. Pekerja yang berkinerja baik dan punya prospek untuk terus dipekerjakan bahkan dinaikkan statusnya banyak yang batal karena pihak penyalur tidak bersedia memperpanjang kontrak dan memilih menggantikannya dengan pekerja lain.
Selain persoalan status hubungan kerja yang fleksibel, SB juga dihadapkan pada persoalan rendahnya mutu kinerja aparat pemerintah. Law enforcement yang sangat lemah yang dihadapi oleh SB dalam keseharian praktek bisnis dan hubungan kerja adalah persoalan utama.
Serikat buruh nyata menghadapi persoalan yang sangat kompleks karena tren fleksibilisasi di tengah persaingan ekonomi dan bisnis di tingkat global, lemahnya pemerintah pusat dan situasi otonomi daerah. Jalinan ketiganya menuntut penetapan posisi strategis yang harus diambil serikat buruh agar dapat menentukan langkah yang tepat dalam memperjuangkan kepentingan kolektif pekerja. Serikat buruh sangat perlu menigkatkan kemampuan dan kinerjanya agar dapat melakukan control terhadap Negara dan berpartisipasi aktif dalam perumusan kebijakan Negara yang terkait dengan hubungan kerja maupun pasar tenaga kerja baik di tingkat pusat maupun local. Sudah lama serikat buruh dikritik karena dianggap hanya memikirkan kepentingan secara eksklusif yang melingkupi hal-hal yang berkaitan dengan hubungan kerja dan mengabaikan aspoek-aspek makro yang sangat berpengaruh terhadap berbagai kebijakan dan kondisi yang menyangkut hubungan kerja. Kompleksitas persoalan yang kini menjadi arena eksistensi serikat telah menyajikan tantangan dan peluang yang mau tidak mau harus diambil untuk mengangkat posisi tawar dan membangun basis kekuatan serikat.
source: siscamling.wordpress.com/burhuh/fleksibilitas-pasar-kerja-dan-tanggung-jawab-negara/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment