Instagram

Translate

Sunday, December 03, 2006

AIDS

Seperempat Abad AIDS TAHUN ini genap seperempat abad usia AIDS di dunia ini. AIDS pertama kali ditemukan pada 1981, ketika seorang gay didiagnosis terkena HIV yang menyebabkan daya tahan tubuhnya merosot secara drastis. Karena itu, saat penyakit datang, tubuh pasien tersebut tidak mampu lagi menghasilkan antibodi guna memerangi penyakit tersebut. Lambannya respons terhadap HIV/AIDS menyebabkan jumlah ODHA (orang dengan HIV/AIDS) bertambah dengan cepat. Bahkan, sejak akhir 1980-an HIV/AIDS telah menjadi epidemi. Baru setelah itu, muncul upaya global untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS di dunia ini. KOMUNITAS gay/MSM (men who have sex with men) melakukan program pencegahan HIV/AIDS melalui sejumlah program seperti edutainment yang menggabungkan pendidikan dan hiburan. Dalam gambar, sekelompok MSM sedang berlatih tarian mengenai gay yang terkena ODHA. Acara ini rencananya akan dipentaskan 5 Desember 2006.*HUMINCA/"PR" Hasilnya, dalam 25 tahun terakhir ini, upaya global tersebut berhasil mendulang sejumlah kesuksesan, di antaranya: penemuan obat antiretroviral (ARV) pada 1996 yang sangat membantu ODHA terus dapat bertahan hidup. Selain itu, dalam lima tahun terkahir ini, tercatat pula penurunan angka prevalensi epidemi HIV/AIDS di sejumlah negara, khususnya di Benua Amerika dan Eropa. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan masalah HIV/AIDS memang ada solusinya. Akan tetapi, di luar kesuksesan tersebut di atas, dunia internasional juga berduka dengan peningkatan angka prevalensi epidemi HIV/AIDS di Afrika dan Asia. Berdasarkan data statistik yang dikeluarkan UNAIDS 2006 (Lembaga PBB yang mengurusi masalah HIV/AIDS), dari prevalensi (angka kejadian) HIV/AIDS sekira 40 juta orang, sekira 75 persen-nya berada di Asia dan Afrika. Di sejumlah negara Asia, seperti Indonesia, mayoritas ODHA berasal dari pengguna narkoba suntik (penasun). Di Afrika, selain penasun, ODHA juga berasal dari kelompok PSK. Fenomena epidemi HIV/AIDS di benua Asia dan Afrika memang telah mendapat perhatian luas dari kalangan masyarakat internasional. Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS baik itu di kalangan kelompok berisiko tinggi seperti penasun, PSK, dan kelompok gay/MSM (men who have sex with men), mulai dari pendampingan sampai dengan perawatan. Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar ke-empat pun, tak lepas dari upaya komunitas global dalam memerangi penyebaran HIV/AIDS. Apalagi, setiap tahunnya prevalensi HIV/AIDS di negeri kita terus naik dengan signifikan. Dari data yang dikeluarkan KPA (Komisi penanggulangan AIDS) Nasional, jumlah ODHA sampai akhir September 2006, sekira 6987 orang. Padahal pada tahun sebelumnya, sampai akhir Juni 2005, jumlah ODHA yang tercatat sekira 2682 orang. Penularan HIV/AIDS terbanyak adalah melalui penggunaan jarum suntik bersama, sekira 52,6%. Sementara itu, penularan melalui hubungan heteroseksual 37,2%, dan homoseksual, 4,5%. Dari segi usia, mayoritas ODHA berasal dari kelompok usia produktif, yakni 20-29 dan tahun, 54,77 persen, 30-39 tahun 26,56 persen dan 40-49 tahun 8,04 persen. Perlu diketahui, sebenarnya jumlah ODHA di Indonesia jauh lebih tinggi dari angka tersebut, karena penghitungan selama ini baru didasarkan pada data Depkes. Estimasi jumlah ODHA pada 2006 sekira 169.000 - 216.000 dan estimasi jumlah penasun di Indonesia pada 2006 sekira 190.000 - 247.000. Selain itu, jika sebelumnya, penyebaran HIV/AIDS baru terjadi di 28 provinsi, sejak tahun ini penyebaran HIV/AIDS sudah terjadi di semua propinsi Indonesia (32 provinsi). Tambahan pula, prevalensi HIV/AIDS di enam provinsi, yakni Papua, DKI, Riau, Bali, Jawa Timur, dan Jawa Barat,masing-masing sudah melebihi 5 persen dari jumlah penduduknya. Artinya, prevalensi HIV/AIDS di Indonesia kini sudah memasuki tahap epidemi yang terkonsentrasi. Untuk Jawa Barat, misalnya, berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, hingga Juni 2006 tercatat 1861 kasus HIV/AIDS (539 AIDS dan 1322 HIV Positif). Sekira 62 persen dari jumlah kasus HIV/AIDS tersebut, penularan terbesar diakibatkan oleh pemakaian jarum suntik bergantian pada kelompok penasun. Tanpa ada penanganan yang serius, jumlah kasus HIV/AIDS bisa bertambah terus. Karena itu, perlu ada upaya pencegahan HIV/AIDS yang serius agar jumlah ODHA tidak bertambah lagi. Selain itu, perlu juga ditingkatkan upaya CST (Care, Support, and Treatment: Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan) pada ODHA. Menurut Danny Yatim, salah seorang konselor HIV/AIDS, ruang lingkup CST, di antaranya mencakup perawatan rumah, dukungan psikososial dan spiritual bagi ODHA dan keluarganya, terapi ARV (antiretroviral), pengobatan infeksi oportunistik (TB, diare, dan sebagainya), layanan pemeriksaan IMS (Infeksi Menular Seksual), perubahan perilaku, KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi), kewaspadaan universal, dan sasaran yang belum terinfeksi HIV/AIDS. Misalnya, dalam masalah KIE, ODHA perlu diberitahu bahwa dengan statusnya tersebut, jika mereka melakukan hubungan seks yang aman (dengan menggunakan kondom) maka mereka akan lebih rentan terkena penyakit IMS dibandingkan dengan yang bukan ODHA. Karena itu, CST bukan hanya penyediaan akses obat-obatan antiretroviral. Lebih jauh lagi, CST pada intinya adalah perawatan komprehensif dan berkelanjutan. Perawatan yang melibatkan suatu jejaring sumber daya dan pelayanan dukungan secara holistik, komprehensif dan luas untuk ODHA, keluarganya. Mulai dari ahli gizi, dokter, konselor, pekerja sosial, perawat, dan pihak lainnya terkait bersama mengoperasikan CST tersebut. Sebelum masuk ke tahapan CST, maka kata Danny terlebih dahulu dilakukan VCT (Voluntary Counseling and Testing). VCT ini adalah pintu masuk ke seluruh pelayanan HIV/AIDS. Terkait dengan tema hari AIDS sedunia 2006, "Stop AIDS! Saatnya kita melayani" maka melalui tema tersebut, kita diingatkan bahwa pencegahan terhadap epidemi HIV/AIDS harus terus dilakukan dengan mengoptimalkan layanan VCT dan CST bagi ODHA. Sejumlah negara seperti Brasil berhasil dalam menurunkan prevalensi HIV/AIDS. Negara ini memasukkan program terapi antiretroviral dalam kebijakan nasional mereka sejak 2003 sehingga ODHA di sana dapat tetap hidup dan berkarya. Selain itu, Brasil pun mengimplementasikan sejumlah strategi HR (harm reduction), yakni program penjangkauan dengan pertukaran jarum suntik steril, terapi narkoba dengan substitusi oral seperti metadon, serta dukungan dan perawatan, dan pengobatan bagi penasun. Akses jarum suntik yang steril pun dibuat semudah mungkin sehingga kemungkinan penggunaan jarum suntik secara bersamaan dalam komunitas penasun dapat dihindari. Meskipun sampai saat ini belum ada obat untuk HIV/AIDS, setidaknya melalui CST, di antaranya layanan terapi retroviral maka kesehatan ODHA dapat berlangsung lama. Sudah tentu, keberhasilan CST untuk meningkatkan kesehatan ODHA tergantung pada kepatuhan dan kontinuitas pengobatan. Dalam hal ini, obat harus diminum seumur hidup. Butuh kedisiplinan dari ODHA untuk terus meminum obat tanpa terputus. Selain itu, akses untuk obat pun harus dipermudah. Apalagi harga obat ARV cukup mahal sehingga untuk menjamin pasokan ARV bagi ODHA, intervensi pemerintah dibutuhkan, misalnya dalam hal subsidi harga jika memang pemerintah tidak bisa menggratiskan. Selain itu, faktor petugas kesehatan juga punya peran penting dalam menjamin ODHA bisa terus hidup dan berkarya. Selama ini, masih sedikit RS dan puskesmas di Indonesia yang bersedia menerima ODHA. Parahnya, sejumlah perawat dan dokter masih ada yang memperlakukan pasien ODHA secara diskriminatif. Hal ini, jika dibiarkan, bisa berakibat fatal terhadap ODHA. ODHA akan enggan untuk memeriksakan kesehatannya sehingga kualitas hidup ODHA akan menurun dengan drastis. Di samping itu, sikap diskriminatif para tenaga kesehatan pada akhirnya akan menggagalkan upaya pencegahan epidemi HIV/AIDS. Karena itu, kalangan tenaga kesehatan perlu mendapatkan sosialisasi informasi yang benar mengenai HIV/AIDS dan juga sejumlah pelatihan terkait dengan pencegahan HIV/AIDS. Pun dengan masyarakat harus menghilangkan stigma yang selama ini merugikan ODHA. ODHA sama halnya dengan kita yang sehat butuh bersosialisasi, bekerja untuk mempertahankan hidupnya. (Huminca Sinaga/"PR")***

1 comment: