REVOLUSI di Mesir bukan hanya untuk menumbangkan pemimpin lalim dan korup, tetapi juga telah melahirkan kesadaran bagi masyarakatnya untuk melawan ketidakadilan, untuk tidak tunduk pada kekuatan luar. Yah, selama ini Arab seringkali menjadi objek, bukan subjek dalam konstelasi hubungan intrenasional. Mengapa ini terjadi? Jawabannya, terkait dengan mayoritas pemimpin Arab tidak independen. Mereka berlindung di balik kekuatan negara-negara besar seperti AS, Cina, Rusia, dan sebagainya. Mereka didikte oleh kekuatan-kekuatan asing tersebut dengan imbalan bantuan keuangan, penanaman modal, seperti yang terjadi di Mesir, Tunisia, Arab Saudi, Yordania, Aljazair, Yaman, Bahrain. Para pemimpin di ketujuh negara tersebut punya hubungan mesra dengan sejumlah pemimpin negara Barat,seperti AS dan Inggris. Sebut saja, Mesir di bawah kepemimpinan eks-presiden Hosni Mubarak selama 30 tahun, punya koneksi dekat dengan sejumlah presiden AS, seperti Ronald Reagan, George Bush Junior dan Senior serta Barack Obama. Mubarak dianggap sebagai aktor terpenting dalam menjaga stabilitas Timur Tengah. Untuk ini, tentu saja tidak gratis.Mubarak mau bekerjasama dengan negara-negara Barat tersebut karena diberikan imbalan yang luar biasa. Dalam hal ini, bantuan keuangan dan militer. Hampir semua perwira tinggi di Mesir lulusan AS. Selain itu, setiap tahunnya, AS memberikan bantuan keuangan sebesar Rp 1,3 miliar dolar AS. Padahal banyak negara miskin di dunia ini, tetapi AS lebih memilih Mesir sebagai penerima bantuan AS. Murah hatinya AS ini karena Mubarak memberikan imbalan jaminan kestabilan di Timur Tengah. Tidak ada bantuan yang diberikan AS tanpa ada maksud dibaliknya.
Hal yang sama dilakukan AS kepada Yaman. Sebuah laporan menyebutkan, Mesir, Yaman, Pakistan, merupakan trio penerima bantuan terbesar dari AS. Kini di negara-negara yang dibantu AS tersbeut, keadaan politiknya memanas. Warga di jazirah Arab ramai-ramai berunjuk rasa melawan pemerintahnya yang diktaktor. Mereka tidak digerakkan oleh siapapun. Mereka melakukan itu karena sudah tidak tahan melihat keadilan. Saat para pemimpin mereka hidup dalam kemewahan, masyarakat setempat hidup dalam kemiskinan dan pengangguran. Berdasarkan data pada grafik, dapat kita lihat, angka pengangguran di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara itu sangat tinggi. Hampir semuanya lebih di atas 10 perseb. Bahkan, di Yaman, jumlah penganggur mencapai 35 persen dari jumlah total penduduknya 23,5 juta.
Sama halnya dengan Mesir, pemimpin Yaman Presiden Ali Abdullah juga punya hubungan spesial dengan AS. Bantuan finansial dari AS kepada negara miskin itu hampir setara dengan bantuan kepada Mesir. Akan tetapi, kemanakah larinya bantuan itu? Yang jatuh ke tangan rakyat hanya sedikitnya, mayoritas dikorupsi oleh pemimpin yang korup itu.
Imbas revolusi di Tunisia dan Mesir kini semakin menguatkan keinginan rakyat, bukan hanya di Yaman, tapi juga di negara lainnya di Afrika Utara dan Timur Tengah.
Berdasarkan perkembangan situasi saat ini, gejolak politik mirip dengan Tunisia dan Mesir sedang berlangsung di Aljazair di bawah pimpinan Presiden Bouteflika yang sudah berkuasa sejak 1999.
Pekan lalu, ribuan masyarakat berkumpul di Alun-Alun 1 Mei, sembari membawa poster yang bertuliskan "Djazair Horra Dimocratia" (Aljazair yang demokratis dan bebas), "système dégage" (Pemerintah harus Mundur). Bahkan, sejumlah pemrotes melantangkan "Kemarin Mesir, sekarang AlJazair". Mungkin slogan yang terakhir ini agak berlebihan karena sampai kini Presiden Bouteflika masih bertengger dalam kekuasaannya. Namun, ini sebenarnya tinggal menunggu waktu. Massa masih belum berhanti menuntut keadilan dari pemerintah yang sudah diberikan amanah mengurusi rakyat, tapi justru menyelewengkan kepercayaan itu. Karena kesabaran itu ada batasnya, para pemimpin lalim itu satu persatu memang akhirnya berhasil ditumbangkan,s eperti Ben Ali (Tunisia) dan Mubarak.
Penyelewengan yang sama juga dilakukan pemimpin lainnya seperti Muammar Khadafi (Libia), Abdullah Saleh (Yaman), Raja Abdullah (Yordania), Hamad bin Isa Al Khalifa (Bahrain). Yang terakhir ini berupaya untuk mengerem laju revolusi Mesir dan Tunisia untuk tidak menular ke negara kecil berpenduduk 738 ribu itu. Raja Bahrain Hamad pekan lalu mengumumkan, akan memberikan uang tunai kepada semua warganya, yakni masing-masing kepala keluarga akan mendapatkan 2700 dolar AS (Rp 24,3 juta). Namun, "sogokan" ini tidak akan mampu untuk menutup mulut mereka. Kekecewaan mereka sudah mendalam sehingga gerakan rakyat di Bahrain akan terus berlangsung. Tentu saja, hasil akhir yang ingin mereka dapatkan adalah apa yang terjadi di Mesir dan Tunisia.
Mengutip slogan yang dilantangkan para pemrotes di Aljazair, jika kemarin adalah Mesir, yang akan datang adalah Bahrain, Yordania, Yaman, Libia, Suriah, Oman, Iran, dan Aljazair. Jika rakyat di sana dianalogikan sebagai air yang dijerang dalam perapian, maka suhunya akan terus memanas sampai akhirnya mendidih. Saat itulah, para pemimpin lalim di negara-negara tersbeut akan mengalami nasib serupa seperti Mubarak dan Ben Ali.
Di pihak lain, bangkitnya dunia aktivis di jazirah Arab ini, akan menjadikan wilayah tersebut lahir kembali menjadi bangsa yang tidak sudi untuk didkte oleh kekuatan asing. Arab akan menjadi bangsa yang percaya pada kekuatannya. Semoga. (Huminca Sinaga) ****
No comments:
Post a Comment