Instagram

Translate

Thursday, July 08, 2010

Konsep Kreatif Bus TransJakarta Untuk Mengatasi Kemacetan

contoh Bogota! untuk atasi kemacetan


Ketika bus transjakarta diluncurkan pada 15 Januari 2004, di Koridor I, ruas Blok M-Kota, warga menaruh harapan beban kemacetan Jakarta berkurang. Kini, empat tahun setelah tujuh koridor digunakan, kemacetan tetap terjadi di berbagai sudut kota, termasuk di beberapa ruas jalan tol dalam kota.

Warga kembali berharap kemacetan akan bisa ditekan jika tiga koridor baru, yakni Koridor VIII-X, beroperasi pada September 2008 seperti yang dijanjikan Pemprov DKI Jakarta. Namun apa yang terjadi, proyek itu tetap saja ngadat meski infrastruktur pendukung sudah rampung sejak September lalu.

Padahal, pembangunan jaringan angkutan umum massal berbasis bus atau bus rapid transit (BRT) melalui bus transjakarta merupakan salah satu solusi mengurangi kemacetan di Jakarta. Transjakarta diyakini menjadi salah satu alternatif pemecahan masalah transportasi setelah merujuk pada keberhasilan TransMilenio di Bogota, Kolombia.

Jakarta memiliki 10 koridor jalur khusus bus (busway) dengan panjang total jalurnya 172,45 kilometer, dan memiliki koridor terpanjang di dunia. Bandingkan dengan TransMilenio yang beroperasi sejak Desember 2000, yang baru memiliki 9 koridor dengan panjang total 86,5 kilometer.

Ditilik dari sisi itu, Jakarta memang lebih unggul dari Bogota. Namun, dalam banyak aspek pengelolaan transportasi massal, Jakarta jauh tertinggal dari Bogota. Padahal, persoalan transportasi berikut masalah sosial dan budaya kota antara Jakarta dan Bogota hampir sama. Bogota hingga tahun 2000, misalnya, adalah kota tanpa karakter, semrawut, macet, polutif, kumuh, dan ”gelap” menakutkan. Bogota dipadati hunian liar tidak tertata yang dibangun pendatang dan warga miskin kota.

Namun, enam tahun kemudian, tepatnya tahun 2006, Bogota berubah menjadi kota yang humanis. Angka kriminalitas di kota berkurang, angkutan umum massal memadai, murah, dan manusiawi menembus hingga ke permukiman di pinggiran kota.

Strategi pembangunan kota

Dinamisasi pembangunan di Bogota mulai terasa saat Wali Kota Bogota dijabat Enrique Penalosa pada tahun 1998-2000. Penalosa mempunyai kemauan politik untuk menata transportasi massal sebagai bagian dari strategi pembangunan kota, dan bukan program yang parsial.

Sebelum TransMilenio dioperasikan, Penalosa menggusur permukiman liar dan menatanya. Warga pendatang yang tak punya kartu tanda penduduk Bogota dipulangkan ke daerah asal. Warga yang ber-KTP Bogota direlokasi ke pinggiran kota.

Permukiman di pinggiran kota pun dibangun menyerupai rumah susun (rusun), tetapi jauh lebih manusiawi ketimbang rusun yang pernah dibangun di Jakarta. Kompleks perumahan seperti ini terlihat, antara lain, di El Recreo Urbanization.

Tidak hanya itu, Penalosa juga mewajibkan semua bangunan di tepi jalan raya mundur tiga meter atau lebih demi pelebaran jalan. Hasilnya, hingga kini lebih dari 300.000 meter persegi ruang publik berhasil ditata (recuperate), dan dibangun untuk trotoar, jalur pedestrian, ruang terbuka hijau, dan lorong, serta jalur tambahan jalan utama.

Penalosa merevitalisasi angkutan umum dalam wujud BRT TransMilenio berkelanjutan, dan menjadikannya tulang punggung kemajuan kota. Pembangunan infrastruktur busway beriringan dengan proses lelang pengadaan bus. Saat konstruksi infrastruktur selesai, bus pun sudah siap.

Di Jakarta, ketika semua infrastruktur Koridor VIII-X selesai dibangun pada September lalu, bus tidak tersedia. Bus baru bisa dioperasikan akhir tahun 2009, itu pun masih perkiraan. Realitasnya, armada di Koridor IV-VII pun tidak memadai jumlahnya untuk setiap koridornya.

Bus gandeng

Salah satu keunggulan TransMilenio adalah menggunakan bus gandeng (articulated)—bus ini berdaya angkut 160 orang—meski baru memiliki 9 koridor dengan panjang total 86,5 kilometer.

Tahun 2008, TransMilenio telah mempunyai 1.070 bus dengan daya angkut 1,45 juta orang per hari. Yang menarik, pada jalur sepanjang 84 kilometer itu, di antaranya ada jalur yang disebut jalur full dedicated, tidak bisa dilalui kendaraan lain, kecuali TransMilenio.

Bandingkan dengan transjakarta, yang baru mengoperasikan 339 bus dengan daya angkut 240.000-245.000 orang per hari. Rendahnya kapasitas tampung bus transjakarta karena sebagian besar armada dari total armada sebanyak 339 bus itu adalah bus tunggal. Dengan demikian, head way bus transjakarta mencapai 30 menit. Sebaliknya, TransMilenio dengan armada sebanyak 1.070 bus gandeng mampu mencapai 3-10 menit.

Penggunaan bus gandeng sebenarnya memberikan beberapa keuntungan. Pada bus tunggal dengan satu atau dua pintu seperti transjakarta, daya angkutnya terbatas dan proses sirkulasi naik turun penumpangnya lamban atau terhambat. TransMilenio memiliki empat pintu sehingga proses naik turun penumpang hanya butuh waktu 15 detik.

Transaksi tiket juga online di semua halte, terminal, serta kantor pengendali di TransMilenio, serta kolektor tiket dan bank atau trustee. Sistem tiket yang transparan itu sangat berbeda dengan transjakarta. Di Koridor IV-VII transjakarta, transaksi tiket secara manual atau karcis sobek yang berpotensi rawan kecurangan.

Setiap halte TransMilenio dilengkapi close circuit television atau CCTV, dijaga polisi, lift untuk pengguna kursi roda yang semuanya berfungsi baik. Jika lift rusak, dalam tempo cepat sudah bisa diperbaiki. Beda dengan kondisi di Jakarta. Lift bus transjakarta untuk para calon penumpang sakit atau cacat yang ada di halte Sarinah, Jakarta Pusat, sudah rusak sejak awal. Ironisnya, kondisi itu tetap dibiarkan sampai saat ini, tanpa ada niat memperbaikinya.

Jalur dan bus pengumpan

Satu hal penting yang tidak dijadikan sebagai contoh oleh Jakarta dari Bogota ialah soal penyiapan jalur pengumpan dan armadanya. Bogota terlebih dahulu menyadari kemungkinan adanya kebuntuan lalu lintas jika pembangunan busway tanpa bus pengumpan atau feeder.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyadari hal itu saat melakukan studi banding ke Bogota. Namun, pemahaman itu sebatas wacana tanpa ada eksekusi yang konsisten.

Artinya, jangankan memikirkan sistem pembangunan jalur dan pengadaan bus pengumpan, armada bus transjakarta saja masih kurang. Bagi Bogota, membangun busway tanpa pengumpan bukanlah konsep penataan transportasi perkotaan yang berkelanjutan. Di Bogota, setiap ujung koridornya kini ada 450 bus pengumpan, yang tarifnya sudah terintegrasi atau dipadukan dalam satu tiket dengan bus TransMilenio.

Bus pengumpan juga pantang masuk ke dalam kota karena jika dipaksakan masuk akan menjadi kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah menyediakan jalur bus khusus. Di Jakarta, kita kerap melihat bus ukuran besar dari luar kota, seperti dari Cibubur, yang mengklaim sebagai feeder, malang melintang di beberapa ruas jalan dalam kota.

Bus yang diklaim sebagai bus pengumpan itu bukannya membantu menekan kepadatan lalu lintas di Jakarta, tetapi justru menambah sesak lalu lintas Jakarta. Bus itu tak ubahnya sebagai bus kota yang dikelola oleh perusahaan properti.

Sementara itu di Bogota, feeder menembus hingga masuk ke permukiman-permukiman di pinggiran kota Bogota. Jumlah kendaraan pribadi yang masuk ke kota menjadi berkurang. Selain itu, sebagian besar tempat parkir ditutup atau diberlakukan pembatasan lahan.

Solusinya, di ujung luar koridor dibangun tempat penitipan kendaraan pribadi (park and ride). Fasilitas ini disediakan untuk kaum suburban yang bermukim di daerah yang belum terjangkau bus pengumpan. Mereka naik kendaraan pribadi hingga di ujung koridor terluar lalu pindah ke bus TransMilenio menuju kota.

Konsep pembangunan bus transjakarta masih setengah-setengah. Hasilnya memunculkan berbagai masalah yang tak kunjung selesai


No comments:

Post a Comment