"Tinta Emas di Kanvas Dunia" by Pitan Daslani.
Anyway I don't read the book, just a review by Anwar Holid
Pada Senin, 14 Januari 2008, masuklah seorang pasien koma karena stroke ke RS Siloam, Karawaci. Dia langsung ditangani Dr. Eka J. Wahjoepramono, seorang spesialis bedah saraf. Dr. Eka segera melihat hasil CT scan pasien tersebut, lantas memberi penjelasan singkat pada istri pasien: "Ibu, kondisi suami sangat gawat. Perdarahannya luas. Kita hanya punya dua pilihan. Pertama, we do nothing. Kita diam saja, dan suami ibu akan meninggal within hours, dalam beberapa jam lagi. Kedua, kita operasi, tapi saya bukan Tuhan. Hasilnya seperti apa, saya tidak tahu."Keterangan itu membuat sang istri tambah syok, sebab di rumah sakit sebelumnya dia diberi tahu bahwa kesadaran suaminya "menurun."Begitulah Dr. Eka Julianta Wahjoepramono, Sp. BS. Dia sigap dan cekatan melakukan operasi. Bicaranya lugas, informal, suka campur-aduk menggunakan kosakata bahasa Indonesia dan Inggris. Dia terkenal jujur terhadap kondisi pasien, ekspresif, sekaligus sangat perhatian dan teliti. Bila sedang menangani pasien, dia mencurahkan seluruh energi, pengetahuan, kemampuan, dan kesabaran demi kesembuhan pasien. Dia enggan menyembunyikan kondisi pasien hanya demi menyenangkan keluarga pasien atau takut dikira menambah beban psikologis keluarga.Seperti cerita Tingka Adiati dalam memoarnya Miracle of the Brain (2009), setelah operasi Eka berkata tentang kondisi suaminya: "Bapak mengalami perdarahan di otak. Saya enggak tahu saraf mana yang kena, dan sejauh mana dampaknya. Itu baru kelihatan nanti kalau sudah sadar. But I can tell you for sure, dapat saya katakan dengan tegas, tubuh kiri bapak akan lumpuh."Dokter spesialis bedah saraf ini berani terus-terang tentang kelemahan dan keterbatasan dirinya sebagai orang yang paling diandalkan untuk memulihkan pasien, meski dalam setiap operasi bedah saraf, dia bersama tim akan memberikan kemampuan maksimal."Saya selalu tekankan kepada staf jangan ada sedikit pun kesalahan atau human error dalam penanganan pasien. Semua harus mendapat pelayanan terbaik. Penderita dan keluarga mereka akhirnya percaya, kami benar- benar menjalankan komitmen profesi kami," demikian katanya pada seorang wartawan.Kisah, kinerja, dan pribadi Eka juga tergambar lugas dalam biografi karya Pitan Daslani ini, Tinta Emas di Kanvas Dunia. Meski endorsement-nya penuh oleh puja-puji kolega atas pencapaian Eka, di sana kita bisa ikut menimba semangat betapa perjalanan untuk mewujudkan cita-cita, menjadi yang terbaik, dan tetap bersahaja, mustahil berhenti setelah seseorang ada di puncak. Gail Rosseau, Kepala Bedah Saraf di Neurological & Orthopedic Hospital of Chicago, Amerika Serikat berkomentar, "Biografi ini bermanfaat bagi masyarakat luas, terutama sebagai sumber inspirasi bagi calon penggerak bedah saraf masa depan di Indonesia."Reputasi Eka sebagai dokter bedah saraf terangkat setelah bersama tim sukses melakukan operasi batang otak untuk pertama kali dalam sejarah kedokteran Indonesia (2001), sebuah kasus yang sangat langka. Batang otak (pons) ialah organ sebesar ibu jari, kenyal serupa tahu, berfungsi sebagai kumpulan kabel vital yang amat lembut dan menghubungkan semua fungsi orak dan tubuh manusia. Bila batang otak tak berfungsi, seseorang secara klinis sudah meninggal dunia, istilahnya mengalami brain-dead.Dunia kedokteran menyebut wilayah ini sebagai no man's land, karena tak seorang pun sebelumnya sanggup mencapai dan menyentuh organ itu (hal. 60). Kondisi ini tambah mendebarkan betapa Dr. Eka pun belum pernah melakukan operasi di batang otak, padahal kondisi pasien sudah begitu memilukan. Pasien ini pemuda berusia 20 tahun, seorang buruh nelayan. Hanya berkat keyakinan dan mengalahkan segala halangan mental dan fisikal, termasuk peralatan mikro seadanya, akhirnya dia sukses melakukan bedah saraf yang amat berisiko itu, meskipun awalnya berdebar-debar. Pada tahun itu Eka ialah dokter Asia pertama yang mampu melakukannya.Keberhasilan Eka terbilang istimewa, karena dia berhasil melakukan operasi sangat sulit meskipun tanpa dibimbing secara khusus. Kebanyakan dokter bedah dibimbing dulu oleh senior sebelum dia betul-betul menjadi ahli.Keberhasilan itu bersifat spiritual baginya. Di satu sisi namanya meroket dan kemampuannya menanjak drastik, bahkan disebut-sebut sebagai giant of neurosurgery; di sisi lain ia makin prihatin betapa perhatian bangsa kita terhadap penyakit sakit dan operasinya masih begitu minim. Indonesia belum punya yayasan yang fokus memperhatikan otak maupun saraf. Karena itu dia bersama rekan mendirikan Yayasan Otak Indonesia (YOI), yang fokus membantu pasien untuk operasi otak dan saraf, dan mendapat dukungan dari Pemerhati Otak Saraf, sebuah komunitas yang terdiri dari mantan pasien bedah saraf beserta sanak keluarganya untuk tolong-menolong dan bertukar informasi mengenai hal ini.Komitmen Eka di bidang bedah saraf kian hebat ketika ilmu pengetahuan dan pengalamannya ditumpahkan ke dunia pendidikan, yaitu fakultas kedokteran. Ia ingin ada regenerasi yang sehat dan terjadi transfer pengetahuan yang lebih baik. "Dari jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa, Indonesia hanya punya sekitar 120 dokter bedah saraf," imbuhnya. Komitmen ini bisa jadi timbul karena cita-cita menjadi dokter awalnya tampak terlalu muluk bagi dia saat kecil tumbuh dari keluarga sederhana di Klaten, Jawa Tengah.Karena keluarganya kurang mampu, sejak kecil Eka bersekolah atas biaya dari pakde (kakak orang tua), sampai ia lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang. Persis di seberang rumah orang tuanya di Klaten, tinggal seorang dokter umum terkenal di kampungnya, dr. Subiyanto, yang ternyata juga dosen anatomi di Universitas Gadjah Mada. Eka berteman akrab dengan anak dr. Subiyanto, sering main ke rumahnya, sampai melahirkan gambaran naif bahwa profesi ini sangat mulia di matanya.Kenyataannya, Eka mengalami berbagai kesulitan dan halangan untuk menjadi dokter yang berdedikasi. Bisa jadi karena keturunan Cina, dia mengalami berbagai perlakuan menyebalkan. Begitu masuk saringan di Universitas Diponegoro, dia sudah dihadang dengan sumbangan dalam jumlah besar. Begitu juga waktu hendak mengambil spesialisasi bedah. Dia gagal ikut pendidikan spesialisasi di almamaternya, meskipun lulus. Mau pindah ke Universitas Airlangga, dia ditampik. Di Bandung, setelah lulus spesialisasi dari Universitas Padjadjaran dan mendapat surat keputusan bekerja di RS Hassan Sadikin, dia malah diadukan atasannya pada Direktur Jenderal Pelayanan Medis Departemen Kesehatan. Eka tahu bahwa dunia kedokteran di Indonesia masih feodal, sedangkan dokter yang berjiwa demokratis dan berpikiran terbuka masih jarang. Setelah mondar-mandir mencari rumah sakit yang tepat untuk karirnya, akhirnya dia memutuskan bekerja di RS Siloam.Di lingkungan RS Siloam kemampuannya berkembang maksimal. Rumah sakit ini menjadi bagian integral ketika Universitas Pelita Harapan (UPH) pertama kali hendak membuka fakultas kedokteran, yang salah satunya juga berkat upaya Eka. Di sinilah dia mengembangkan ilmu kedokteran sesuai idealisme dan perkembangan zaman, sekalian terus berguru, baik secara formal dengan mengambil program doktoral di tiga universitas dalam waktu berdekatan, maupun memburu ilmu dengan mengundang banyak pakar yang relevan dengan kedokteran saraf, pemenang Hadiah Nobel bidang kedokteran, serta rutin mengadakan visiting professor atau guest lecture di UPH dan organisasi profesi dokter bedah saraf. Berkat sumbangsihnya, Eka akan diangkat sebagai guru besar UPH pada 17 April 2010.Biografi ini dengan semangat menceritakan betapa ada anak Indonesia begitu berhasrat menjadi dokter bedah saraf kaliber dunia. Teknologi dan fasilitas yang terbilang seadanya bukan halangan baginya untuk berkembang, melakukan inovasi, berbagi ilmu, sebab Eka percaya tak ada sesuatu yang terlalu sulit bagi orang yang mau belajar dan bekerja keras. Pitan Daslani menampilkan Eka secara lugas, nyaris tanpa polesan, berhasil memotret sosok Eka bagaimana adanya. Dia tidak menulis ala jurnalisme sastrawi yang berusaha meliuk-liuk baik untuk mengungkapkan perasaan atau berniat mendapatkan informasi ala jurnalisme investigatif untuk mengorek hal-hal yang cukup sensitif. Sedikit ada kejanggalan, ilustrasinya banyak menggunakan sudut pandang "aku." Ini menimbulkan ambiguitas, apa buku ini sebenarnya biografi resmi atau autobiografi yang disamarkan.
[]ANWAR HOLID bekerja sebagai editor, penulis, publisis. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com
Powered by Telkomsel BlackBerry®
No comments:
Post a Comment