vin's Site -
Pernahkah Anda mendengar bahwa keluhan nyeri kerongkongan yang
disertai demam dapat berkembang menjadi penyakit jantung yang
berbahaya? Meski hal ini terdengar berlebihan, namun inilah
keadaan yang dapat terjadi pada penyakit demam rematik akut.
Penderita penyakit ini pada awalnya hanya mengeluh nyeri
kerongkongan dan demam yang berlangsung beberapa hari.
Beberapa minggu kemudian, penderita dapat datang kembali
dengan berbagai keluhan sistemik yang serius, termasuk kelainan
jantung dengan berbagai komplikasinya.
Penyakit demam rematik akut atau disebut juga acute rheumatic
fever adalah suatu kelainan sistemik yang ditandai dengan
adanya peradangan atau inflamasi pada berbagai jaringan
penunjang tubuh, terutama jantung, sendi, dan susunan saraf.
Akibat peradangan ini, organ-organ tubuh mengalami gangguan
anatomis dan fungsional yang serius, di antaranya berupa
kelainan-kelainan jantung (carditis), sendi (arthritis), dan
susunan saraf pusat.
Perjalanan penyakit demam rematik diawali dengan adanya
infeksi bakteri Streptococcus beta-hemolyticus golongan A
pada kerongkongan. Infeksi ini menyebabkan penderita mengeluh
nyeri kerongkongan dan demam. Bila infeksi pada tahap ini
tidak diobati, bakteri Streptococcus yang ada akan melakukan
perlengketan yang kuat (adherence) di daerah sekitarnya dan
merangsang pengeluaran protein antibodi anti Ig-G. Antibodi
yang dihasilkan akan mengikat kuman Streptococcus dan
membentuk suatu kompleks imun yang memiliki kemampuan menyebar.
Bila proses ini tidak dihalangi atau diobati, kompleks imun
yang terbentuk akan memasuki darah dan menyebar ke seluruh
tubuh, terutama ke jantung, sendi, dan susunan saraf.
Pada jantung, kompleks imun ini akan menimbulkan reaksi
peradangan atau inflamasi yang bermanifestasi sebagai
peradangan otot jantung (myocarditis), lapisan jantung
(pericarditis), dan katup-katup (valvulitis).
Pada sendi, kompleks imun menimbulkan peradangan yang
berpindah-pindah (polyarthritis migratory) dan menyebabkan
kesulitan bergerak dan berjalan.
Pada susunan saraf, kelainan ini menyebabkan gangguan
pergerakan dan kepribadian yang psikologis berupa kepribadian
yang agresif, depresi, dan obsessive-compulsive.
Sebenarnya, Streptococcus bukanlah penyebab utama infeksi
kerongkongan. Bakteri ini dilaporkan hanya menyebabkan
sekitar 5-10 persen dari infeksi kerongkongan. Meski
demikian, infeksi Streptococcus tetap menjadi persoalan
kesehatan yang penting berkaitan dengan komplikasinya yang
serius dan mematikan. Data menunjukkan bahwa sekitar 35-40
persen dari kelainan jantung yang dirawat di negara-negara
berkembang disebabkan oleh kelainan ini.
Di Indonesia sendiri dilaporkan sekitar 9-40 persen dari
penyakit jantung yang dirawat di rumah sakit adalah akibat
demam rematik yang memiliki tingkat kematian yang tinggi,
yaitu 42 persen dalam 5-years survival rate.
Demam rematik ini dapat menyerang semua usia meskipun
kebanyakan ditemukan pada anak-anak usia 5-15 tahun.
Penyakit ini lebih sering terjadi di daerah permukiman yang
padat dengan tingkat sanitasi yang rendah, dan dapat
menyerang laki-laki dan perempuan.
Menegakkan diagnosa demam rematik bukanlah hal mudah karena
perjalanan penyakitnya terdiri atas beberapa fase dan
manifestasi klinisnya kurang spesifik. Pada fase awal,
penderita biasanya datang dengan keluhan yang tidak khas,
seperti nyeri kerongkongan, demam, kesulitan makan dan
minum, lemas, sakit kepala, dan batuk. Pada fase ini,
kebanyakan penderita hanya didiagnosa mengalami penyakit flu
atau amandel (tonsilitis) dan biasanya diberikan obat-obat
penurun panas dan penghilang rasa sakit.
Dokter biasanya mulai curiga akan kemungkinan demam rematik
apabila penderita datang kembali beberapa minggu kemudian
dengan keluhan yang lebih spesifik dan serius, terutama
yang berkaitan dengan sendi, jantung, dan saraf. Keluhan
yang paling sering muncul pada fase ini adalah gangguan
sendi berupa rasa nyeri dan pembengkakan yang biasanya
berpindah-pindah dari satu sendi ke sendi lainnya
(migratory polyarthralgia), kesulitan menggerakkan sendi dan
berjalan. Bila proses menyerang jantung, penderita akan
mengalami kelainan jantung (carditis), ditandai dengan batuk-
batuk, kesulitan bernapas, berdebar-debar, serta adanya tanda-
tanda pembesaran jantung. Penyakit ini dapat pula menyerang
susunan saraf dan menimbulkan ketidakstabilan emosi, gerakan-
gerakan involunter tangan yang tidak teratur, kesulitan
menulis dan berbicara, kecemasan, dan perilaku agresif.
Selain itu, pada penderita juga dapat ditemukan adanya
kelainan kulit berupa rash kemerahan pada badan dan tangan
(erythema marginatum) dan benjolan/massa kecil yang berbentuk
padat, tidak lunak, dan tidak melekat pada kulit, dengan
diameter beberapa milimeter hingga 2 sentimeter yang disebut
subcutaneous nodule.
Perlu diketahui bahwa tidak semua penderita memperlihatkan
manifestasi klinis seperti yang disebutkan di atas. Beberapa
di antaranya hanya memiliki kelainan minimal seperti nyeri
sendi serta rash pada kulit. Karena itu, untuk membantu
penegakan diagnosa perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium,
di antaranya berupa pemeriksaan kadar LED (laju endap darah),
CRP (C reaktive protein), dan ASTO (anti-streptolysin titer O).
Kadar ketiga jenis pemeriksaan ini akan sangat meningkat
pada penderita demam rematik akut, dan karena itu berguna
bagi penegakan diagnosa.
Pemeriksaan tambahan lain yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan sinar X, EKG, dan echocardiography.
Untuk kepentingan diagnosa, manifestasi klinis kelainan demam
rematik digolongkan atas 2 kriteria, yaitu kriteria mayor dan
kriteria minor (Jones criteria). Yang termasuk kriteria mayor
adalah adanya tanda-tanda carditis, arthritis,
subcutaneous nodule, erhytema marginatum, dan Sydenham's
chorea. Kriteria minor terdiri dari nyeri sendi, demam
penyebaran penyakit telah peningkatan kadar LED atau CRP pada
darah, serta perpanjangan interval PR pada pemeriksaan EKG.
Berdasarkan kriteria Jones, seseorang baru dapat dikatakan
menderita demam rematik jika pada dirinya ditemukan minimal 2
kriteria mayor atau adanya 1 kriteria mayor yang disertai 2
kriteria minor.
Namun, hal ini mesti didukung oleh bukti bahwa orang tersebut
menderita infeksi Streptococcus pada kerongkongan yang
ditandai oleh adanya kultur kerongkongan yang positif atau
peningkatan kadar ASTO dalam darah. Tanpa adanya bukti infeksi
Streptococcus ini kriteria mayor dan minor yang ditemukan
dianggap kurang bermakna.
Penderita demam rematik perlu istirahat di rumah sakit,
terutama bagi mereka yang telah mengalami kelainan jantung.
Istirahat ini penting untuk mengurangi beban kerja organ-
organ tubuh yang mengalami kelainan. Mereka juga perlu
mengonsumsi obat-obatan yang terdiri atas antibiotik,
anti-inflamasi, serta obat-obat spesifik bagi kelainan
organnya.
Berbeda dengan berbagai penyakit lain, pemberian antibiotik
pada penderita demam rematik biasanya dilakukan dalam jangka
waktu yang panjang. Bagi mereka yang belum mengalami kelainan
jantung, antibiotik harus diberikan selama 5 tahun secara
terus-menerus atau hingga penderita berusia 21 tahun. Bagi
mereka yang telah mengalami kelainan jantung, antibiotik
harus diberikan selama 10 tahun atau hingga mereka berusia
40 tahun. Pemberian antibiotik jangka panjang ini bertujuan
mencegah terjadinya perulangan infeksi atau timbulnya
komplikasi kelainan katup yang lebih berbahaya, seperti
mitral stenosis, aortic regurgitation, dan sebagainya.
Hingga saat ini, prognosa kelainan masih belum memuaskan.
Bila tidak diberi pengobatan yang memadai, sekitar 65 persen
dari penderita akan mengalami pengulangan infeksi. Beberapa
studi melaporkan bahwa penderita demam rematik yang telah
mengalami kelainan jantung (carditis) ringan 73 persen di
antaranya akan mengalami kelainan jantung yang lebih berat
dalam kehidupannya. Sedangkan mereka yang mengalami
kelainan jantung (carditis)
berat saat menderita demam rematik hampir seluruhnya akan
masuk ke dalam kondisi gagal jantung dan paru.
Mengingat fatalnya kelainan ini, kita tidak boleh
menyepelekan keluhan sakit kerongkongan dan demam, apalagi
bila keluhan ini berlangsung lama dan tidak sembuh dengan
obat penghilang sakit atau penurun panas. Bila hal ini
terjadi, kita sebaiknya segera mengunjungi sarana
kesehatan yang ada untuk mendapat pemeriksaan lebih lanjut.
DR IQBAL MOCHTAR MPH, DiplCard Fellow pada
Department Cardiac Imaging Massachusetts General Hospital,
Harvard University, Boston, USA
Jumat, 29 Februari 2008 | 02:03 WIB
No comments:
Post a Comment