Instagram

Translate

Saturday, April 13, 2013

Caracazo, Legasi Chavez dan Maduro

"Di bawah kepemimpinan saya, Revolusi Chavez akan terus berlanjut". -Nicolas Maduro


VENEZUELA pada 5 Maret 2013 telah kehilangan pemimpimpinnya yang luar biasa, Hugo Chavez, tetapi transformasi projek sosialis dan demokratnya tak akan pernah pupus, bahkan akan semakin digelorakan. Soal ini diungkapkan dengan tegas oleh Capres dari Partai Sosialis Venezuela yang presiden sementara Venezuela pascawafatnya Chavez dalam tulisan opini yang dikirimkan kepada media ternama dunia Guardian, Jumat 12 April 2013.
Maduro sejak muda memang dikenal piawai menulis. Dia cukup sering menulis soal sosialisme di berbagai media massa, termasuk salah satunya dia kirimkan ke laman Guardian dua hari menjelang pilpres Venezuela 14 April 2013. Yah, pada hari Minggu ini, rakyat Venezuela akan memilih. Bagi Maduro, pilihan warga tersebut hanya dua: melanjutkan revolusi yang sudah diinisiasi oleh Chavez sejak 1998 atau kembali ke masa lalu. "Saya selama ini bekerja dengan Chavez dan sekarang ikut dalam pilpres ini untuk menggantikan dia. Sebelum wafat, Chavez telah merestui saya sebagai penggantinya. Ini adalah kehormatan bagi saya untuk terus melanjutkan Revolusi Chavez," kata Maduro kepada para pendukungnya. 

Berdasarkan data KPU setempat, dari 29 juta orang populasi Venezuela saat ini, terdapat 15 juta yang punya hak pilih. Di tangan mereka inilah, masa depan Venezuela ditentukan. Momentum pemilu kali ini memang agak spesial karena selama 14 tahun terahir, mayoritas warga Venezuela telah memberikan mandat kepada Chavez untuk menjalankan kekuasaan dan dia bagi banyak rakyat Amerika Latin, diangap sebagai pemimpin yang mumpuni.

Mengapa? Jawabannya sederhana karena Chavez telah mentransformasi negara miskin itu menjadi salah satu kawasan di mana kesenjangan sosial antara miskin dan kaya yang semula sangat lebar kini paling sempit di kalangan negara-negara Amerika Latin. Ini artinya, selama Chavez memerintah, dia berhasil mendistribusikan kekayaan negara untuk kepentingan orang banyak.  Saat Chavez pertama kali menduduki kursi presiden pada 1999 usai menang pemilu pada akhir 1998, warga Venezuela hidup dalam kondisi yang sangat miskin akibat penerapan kebijakan ekonomi neoliberal oleh rezim sebelumnya (pemerintah Carlos Andres Perez) yang berkuasa selama 20 tahun itu.   Akibat praktik neoliberal ini, aset-aset negara yang strategis seperti tambang minyak, habis dikuasai kaum pemilik modal. 

"Insiden Caracazo"

Venezuela merupakan salah satu negara kaya minyak, tetapi kehidupan warganya sebelum Chavez berkuasa, benar-benar sangat memprihatinkan. Kekayaan minyak tersebut tak dirasakan oleh mereka, tetapi oleh pengusaha minyak. Bahkan, gara-gara sikap pemerintah Perez yang terlalu pro-pasar itu, ribuan warga Venezuela menjadi tumbalnya. Mereka tewas dalam demonstrasi menentang kenaikan harga yang terjadi di Carazas pada 1989 lalu. Insiden ini mirip dengan demonstrasi 1998 di Indonesia kendati di negara kita itu berlangsung relatif aman dan damai.
Laporan laman bbc.co.uk menyebutkan, dalam demonstrasi menentang kenaikan harga di Caracas itu atau dikenal dengan nama insiden Caracazo itu, sedikitnya 3.000 orang tewas. Peristiwa ini pun menjadi momentum awal kebangkitan sosialisme di negara tersebut yang 10 tahun kemudian melahirkan Chavez sebagai pemimpin yang pro-warga miskin menggantikan rezim kapitalis di bawah kekuasaan Perez. Tak heran banyak warga Venezuela yang mayoritas Katolik itu, menganggap Chavez adalah Kristusnya kaum papa. 

Selama dipimpin Chavez (1999-2013) inilah, semua kebijakan yang sebelumnya sangat neoliberalis diubah atau ditrasformasikan oleh Chavez menjadi kebijakan pro-warga miskin. Salah satunya pada 2003, semua aset minyak yang sebelumnya dimiliki swasta dinasionalisasikan menjadi perusahaan negara. Sejak itu, semua keuntungan minyak pun masuk kas negara dan sepenuhnya digunakan untuk membiayai pembangunan warga, diantaranya menyediakan jaminan kesehatan dan pendidikan secara gratis. Hasilnya, tingkat kemiskinan di negara itu menurun drastis sehingga pada saat ini, Venezuela merupakan negara dengan tingkat kesenjangan pendapatannnya paling rendah  di antara kalangan negara-negara Amerika Latin dan Karibia. 

Semua pencapaian positif di era Chavez ini kembali didengungkan oleh Nicolas Maduro selama masa kampanye pilpres yang baru  saja berakhir Kamis (11/4) lalu, guna meraih simpati warga negara kaya minyak itu. Maduro memang merupakan satu-satunya politisi yang direstui mendiang Chavez untuk menjadi penggantinya. Dia mengumumkan itu pada akhir Desember 2012 lalu atau tiga bulan sebelum ajal menjemputnya.  

Pilihan Chavez memang tak salah karena Maduro adalah seorang sosialis sejati. Berdasarkan penelusuran riwayat hidupnya, dia sejak muda dikenal sebagai aktivis buruh yang sangat vokal sehingga pernah menjabat sebagai Ketua Serikat Buruh se-Venezuela yang kemudian mengantarkannya menjadi politisi ternama di Venezuela. Sama dengan Chavez, seperti dikutip laman globalsecurity.org, Maduro juga anti-Amerika. Ini membuat mantan Menlu Venezuela itu, pernah  menolak saat ditawari beasiswa ke Amerika. Sebagai gantinya, dia ambil beasiswa dari pemerintah Kuba. Di samping itu, loyalitasnya kepada Chavez sangat tinggi sehingga seluruh karirnyanya dihabiskan untuk bekerja dengan pemimpin karismatik itu. 
Dengan pengalaman dan juga sikap politiknya itu, banyak orang percaya, Maduro adalah calon terideal untuk melanjutkan kepemimpinan Chavez. Para Chavista (pendukung Chavez) diyakini akan memberikan suara kepadanya. Hasil jajak pendapat memang menunjukkan, Maduro unggul tipis atas rivalnya, Henrique Capriles (41), Gubernur Provinsi Miranda.

Tak heran, banyak kalangan memprediksi, politisi partai sosialis ini berpeluang besar memenangi pilpres mendatang. Pasalnya, dia adalah satu-satunya calon yang benar-benar direstui mendiang Chavez. Selain itu, mayoritas warga Venezuela sangat mengidolakan Chavez sehingga ini akan menguntungkan Maduro. 



Namun demikian, ini tak berarti Capriles adalah lawan yang mudah dikalahkan. Capriles sendiri, seperti Maduro, punya profil yang cukup meyakinkan. Kendati usianya masih relatif muda, 41 tahun, dia sudah kaya makan asam dan garam banyak di dunia politik Venezuela. Pria lulusan Hukum Perdagangan dari Universitas Katolik Andres Bello, Caracas ini pertama kali mendapatkan jabatan politis pada tahun 2000 saat di aterpilih menjadi wali Kota Baruta mengalahkan kandidat dari kubus Chavista, Simon Pestana. Lalu, pada 2008, dia berhasil menjadi Gubernur Miranda setelah mengalahkan loyalis chavista, Diosdado Cabello. Kemudian pada pilpres 2012, dia ikut menantang chavez, kendati akhirnya kalah dengan perolehan suara 44 persen. Lalu, dia kembali menjadi Gubernur Miranda periode kedua setelah berhasil mengalahkan, lagi-lagi  kandidat usungan kubu Chavez. Dari rekaman jejak karir politiknya itu, kita bisa melihat jika Capriles adalah sosok yang tangguh dan cukup populer sehingga dia mampu meraih semua jabatan politis itu dari orang-orang Chavez (Chavista). Kini pada 14 April, dia kembali akan bertarung melawan Chavista lainnya, Nicolas Maduro.  Sudah tentu bagi Capriles ini bukan hal yang mudah karena Maduro dari banyak hal punya lebih banyak keuntungan ketimbang dirinya. Namun demikian, Capriles tak patah semangat. Dia menjadikan sejumlah problem ekonomi warisan Chavez seperti masalah listrik dan sejumlah projek pembangunan yang tak kunjung selesai itu, menjadi senjata untuk merebut hati warga miskin Venezuela. Untuk kelompok warga kaya, Capriles tak usah lagi bersusah payah menarik perhatian mereka. Pasalnya, selama ini dukungan dari mereka inilah yang membuat Capriles sejak terjund i dunia politik pada usia 20 tahunan itu, bertahan sampai saat ini. Kelompok warga kaya dan pengusaha yang menjadi konstituen politik Capriles selama ini memang tak menyukai kepemimpinan Hugo Chavez yang dinilai telah membebani mereka dengan pajak tinggi yang digunakan Chavez untuk membiayai program-program pro-warga papa.  Selain itu, bagi kaum pengusaha, nasionalisasi perusahaan minyak dan industri  strategis lainnya, telah menyebabkan para pemilik modal tersebut gagal mengeruk keuntungan maksimal. Soalnya, semua sektor strategis sejak Chavez memerintah, dikuasai negara dan ini dapat dipastikan akan masih berlanjut jika Maduro memenangi pilpres. Jadi, tak heran, kaum kaya akan loyal untuk terus mendukung Capriles menjadi Presiden Venezuela agar ada perubahan signifikan pascasosialisme bawaan Chavez menyelimuti negara itu selama 14 tahun.   

  

"Tantangan Berat"

Menurut sejumlah pengamat, Maduro begitu jor-joran menggunakan nama Chavez di setiap kampanyenya karena selain ini akan menguntungkan dirinya, dia juga tak ingin warisan Chavez selama 14 tahun terakhir ini musnah lantaran kepemimpinan berganti rezim. Maduro tak ingin sosialisme yang diwariskan Chavez hancur. Dia tak ingin ideologi negara berubah dari sosialisme menjadi neoliberalisme. 

Akan tetapi, hasil jajak pendapat terbaru, kendati mengunggulkan Maduro (55 persen), ini tak menjamin mantan supir bus tersebut akan menang mudah. Dapat dipastikan persaingan antara Maduro dan Capriles pada pesta demokrasi 14 April ini akan sangat ketat. Menurut sejumlah analis, tipisnya keunggulan Maduro itu ada kaitannya dengan situasi ekonomi Venezuela yang saat ini sangat parah dengan tingkat inflasi sudah mencapai dua digit. Selain itu, pembangunan infrastruktur seperti perumahan, jalan raya dan rel kereta api yang sempat menjadi janji kampanye Chavez, tak sepenuhnya terealisasi. 

Salah satu projek Chavez yang masih belum rampung itu adalah Jembatan Maracaibo. Guru Besar Ilmu Teknik Sipil Universitas Venezuela, Celia Herrera, yang menjadi penasihat Capriles mengatakan, peletakan batu pertama pembangunan jembatan di kota terbesar kedua di Venezuela itu, sudah dilakukan Chavez pada 2006 lalu. Setahun kemudian,kata Prof Herrera, Chavez kembali melakukan hal serupa untuk kedua kali. Namun, sejak itu, tak ada lagi kelanjutan pembangunan jembatan tersebut. "Sejak 2007 itu, pembangunan jembatan berhenti total," ujar Herrera lagi. Diduga, salah satu penyebab terbengkalainya pembangunan tersebut adalah korupsi. "Ribuan kali, pemerintah petahana berjanji akan mulai mengecor, tapi sampai sekarang itu tak pernah dilakukan," ujar Herrera lagi kepada AP, Jumat (12/4) seperti dilansir Yahoo News.  Selain soal bangunan belum jadi, suplai listrik dan air juga sering bermasalah.  Salah seorang warga Caracas, Pedro Martinez, mengatakan, hampir setiap hari listrik matik tiga kali sehari. "Listrik di sini sering byar pet. Ini sangat mengesalkan karena terjadi hampir tiap hari," ujarnya seraya membawa lilin yang ditempatkan dekat dengan reporter AP yang saat itu mencatat hasil wawancaranya. 

Semua masalah tersebut telah membuat banyak warga Venezuela kesal dan mengalihkan dukungan kepada Capriles yang selama ini berjanji untuk memulihkan perekonomian Venezuela, termasuk Martinez yang mengaku akan memilih Capriles dengan harapan akan membawa perbaikan ekonomi di negara miskin itu. 

Tak heran, masalah listrik, air dan banyaknya projek pembangunan yang belum jadi semasa era Chavez itu, menjadi  keuntungan buat kampanye Capriles dalam memenangkan hati warga Venezuela. Pokoknya semua projek Chavez yang belum rampung, termasuk pembangunan rumah sakit ibu hamil dan rel kereta api Maracay menjadi senjata Capriles untuk memenangi pilpres 14 April 2013.  Capriles dalam kampanyenya terakhir, Kamis (11/4) sebelum minggu tenang, kepada ribuan pendukungnya di  Caracas mengatakan, dia adalah pilihan terbaik untuk mengaktifkan kembali perekonomian Venezuela yang selama beberapa tahun terakhir ini melempem. "Jika kalian ingin punya masa depan, kita harus mengubah pemerintahan yang ada saat ini," kata Capriles.


Menyadari problema yang ditinggalkan Chavez itu akan menjadi tikaman buat kampanyenya, Maduro pun selama ini memang selalu menghindar untuk menyebut projek-projek pembangunan yang belum rampung itu. Kendati saat berkampanye di negara bagian Apure, dia tak bisa menghindar dari isu tersebut sehingga dia meminta maaf kepada warga setempat atas penundaan sejumlah projek tersebut dan berjanji akan melanjutkan itu segera jika dia terpilih sebagai presiden mendatang. 

"Perintah"


Kendati dukungan terhadap Maduro menurun, secara mayoritas, di banyak jajak pendapat, dia masih diunggulkan memenangi pilpres 14 April ini. Ini memang tak terlepas dari amanat Chavez sebelum wafat yang meminta rakyatnya untuk memilih Maduro sebagai penggantinya. "Itu adalah perintah bagi kita untuk menghormati sang pemimpin karismatik dan semua kaum papa yang selama ini menjadi pendukung setianya," kata staf PLN Caracas,  Efren Perez. Menurut Perez, amanat Chavez itu harus dilaksanakan karena itu adalah perintah. "Kita harus memilih Maduro, Mengapa? Karena itu adalah perintah dari Chavez," ujarnyalagi.

Bisa jadi, perintah itu pula yang membuat Maduro, kendati posisinya saat ini tak terlalu aman, akan mmapu berhasil mendulang pundi-pundi suara kaum papa di negara itu yang memang menjadi kelompok mayoritas. Kendari di antara mereka saat ini banyak juga yang sudah mulai tak puasdengan kondisi Venezuela saat ini dan ingin perubahan. Akan tetapi, apapun hasilnya pada pemilu 14 April, baik Capriles maupun Maduro akan menghadapi tantangan yang jauh lebih berat ketimbang pendahulunya. Jika mereka ingkar janji, rakyat Venezuela tak segan untuk melawannya. Ini berbeda dengan sosok Chavez yang memang sangat disegani sehingga banyak projek pembangunan di era Chavez yang  belum usai, warga tak pernah memrotes itu saat chavez masih hidup  lantaran segan. Warga memang sangat mengkultuskan Chavez sehingga dia sering disebut sebagai Kristusnya kaum miskin. Warga baru mulai berani mengeluarkan unek-unek mereka setelah Chavez meninggal dunia. Segala keluhan pun keluar, mulai dari soal listrik yang sering byar pet sampai pembangunan jembatan yang tak kunjung usai. 

Namun demikian, di atas segalanya, kendati Maduro diungulkan menang tipis, tak ada kalkulasi yang pasti dalam politik. Apapun bisa terjadi. Jadi, kita tunggu saja sampai rakyat Venezuela menunaikan hak pilihnya pada hari Minggu (14/4) ini. (Huminca/"PR")*** 

No comments:

Post a Comment