Instagram

Translate

Thursday, August 09, 2012

Skandal dokter dan farmasi

sumber : http://healindonesia.wordpress.com/2...-anda-ketahui/

Mengakhiri 'selingkuh' dokter dan industri farmasi

Kalau akhirnya Anda terpaksa harus pergi ke dokter, tanyakanlah berapa
banyak pasien yang dia sarankan penanganan penyakitnya harus lewat meja
operasi. Itu perlu ditanyakan karena akan menjadi dasar bagi Anda untuk
mengambil keputusan apakah tetap dirawat olehnya atau berpaling ke
dokter lain.

Bila dalam setahun hanya 10% dari jumlah pasien yang ditanganinya harus
menjalani operasi, maka dokter tersebut pantas mendapatkan kepercayaan
Anda. Tapi apabila 25% hingga 50% dari jumlah pasiennya harus ditangani
di ruang operasi, maka itu bisa menjadi indikasi bahwa ada kredit yang
tengah 'dilunasi' si dokter untuk 'mengejar setoran'. Nah, bila
persentasenya mencapai 80%, dokter itu layak mendapat julukan dangerous
doctor, dan segeralah cari dokter lain.

Itu adalah guyonan yang disampaikan Anggota Komisi IX DPR Hakim Sorimuda
Pohan dalam acara diskusi mengenai kelangkaan dan mahalnya harga obat
beberapa waktu lalu. Guyonan yang disambut tawa semua orang yang hadir
di acara itu.

Seperti kentut, praktik-praktik 'haram' dunia kedokteran memang
tercium tak sedap tapi tidak kelihatan. Hal paling sederhana dan paling
banyak dibahas dalam beberapa waktu terakhir adalah independensi dokter
dalam menuliskan resep untuk pasiennya. 'Selingkuh' antara pabrik obat
dan dokter-yang sudah pasti merugikan pasien--belakangan mendapatkan
sorotan tajam.

Poin-poin etika promosi obat antara GP Farmasi Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI):

1. Dokter dilarang menjuruskan
pasien membeli obat tertentu karena dokter bersangutan telah menerima
komisi dari perusahaan farmasi tertentu.

2. Dukungan perusahaan farmasi pada pertemuan ilmiah dokter tidak boleh dikaitkan dengan kewajiban mempromosikan atau meresepkan suatu produk.

3. Dukungan kepada dokter secara individual dalam rangka pendidikan
berkelanjutan terbatas pada biaya registrasi, akomodasi, dan
transportasi.

4. Perusahaan farmasi dilarang memberikan honorarium atau uang saku
kepada dokter yang menghadiri pendidikan berkelanjutan, kecuali sebagai
pembicara atau moderator.

5. Donasi pada profesi kedokteran tidak boleh dikaitkan dengan penulisan resep atau penggunaan produk perusahaan tertentu.
6. Pemberian donasi dari perusahaan farmasi hanya diperolehkan untuk organisasi profesi kedokteran, bukan untuk dokter individual.
7. IDI harus memverifikasi berbagai kegiatan resmi organisasi, terkait dengan sponsorship dari anggota GP Farmasi Indonesia.
Sumber : GP Farmasi

Promosi obat industri farmasi yang tidak etis telah membuat pasien
semakin tersakiti. Hadiah untuk sang dokter, harus dibayar is pasien
lewat harga obat yang mencekik leher. Pasien tidak punya pilihan karena
dokternya sudah terikat 'kontrak' tidak resmi dengan produsen obat.

Kalau memang praktik serupa ini tidak pernah ada, tidak mungkin
Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia
(IDI) sampai merasa perlu untuk melakukan penandatanganan kesepakatan
bersama etika promosi obat pada 12 Juni lalu.

Dalam kesepakatan itu dokter dilarang menjuruskan pasien membeli obat
tertentu karena dokter bersangkutan telah menerima komisi dari
perusahaan farmasi tertentu. Masih ada sejumlah poin lainnya yang
intinya ingin menegakkan independensi dokter dalam menjalankan tugasnya.

"Kami memang tidak memiliki data mengenai pelanggaran kode etik itu,
namun saya yakin pelanggaran itu sangat mungkin terjadi. Jadi
kesepakatan ini untuk penegasan," kata Ketua Umum GP Farmasi Indonesia
Anthony Ch Sunarjo.

Menepis bias

Pertengahan Maret lalu, organisasi perusahaan farmasi internasional di
Indonesia (IPMG) juga memperketat aturan promosi dan pemasaran obat oleh
para anggotanya, lewat revisi terbaru kode etik organisasi itu.

Ketua IPMG Ahmet Genel mengatakan revisi kode etik IPMG itu diadopsi
dari revisi terbaru International Federation Pharmaceutical
Manufacturers & Association (IFPMA).

Namun, Genel membantah bahwa pengetatan aturan mengenai promosi dan
pemasaran obat tersebut didasarkan pada adanya dugaan praktik promosi
yang tidak sehat antara perusahaan farmasi dan dokter.

"Ini [kode etik] dibuat bukan atas adanya dugaan telah terjadi praktik
tidak sehat antara produsen obat dan dokter. Kami ingin obat-obat yang
diproduksi dipasarkan secara etis dan dokter dapat membuat keputusan
tanpa bias," ujarnya berupaya meyakinkan.

Perusahaan farmasi yang tergabung dalam IPMG hanya diperbolehkan
memberikan hadiah kepada profesi kesehatan dalam rangka acara nasional,
budaya, atau keagamaan yang penting, dengan nilai maksimal Rp500.000,
tidak boleh lebih.

Sebelumnya, perusahaan farmasi diperkenankan untuk memberikan hadiah
senilai Rp500.000 untuk ulang tahun dan hadiah senilai hingga Rp2 juta
untuk hadiah pernikahan. Tapi kini, hadiah untuk perayaan ulang tahun
dan pernikahan telah diharamkan.

Batasan rupiah untuk membuat pekerjaan dokter tidak berbias juga
ditetapkan oleh GP Farmasi, misalnya, lewat suvenir promosi yang harus
bernilai wajar yaitu maksimum US$20 dan honorarium pembicara seminar
yang tidak boleh melebihi US$300.

Sayangnya, tidak ada batasan rupiah yang ditetapkan apabila perusahaan
farmasi ingin memberikan hadiah untuk perayaan tertentu, seperti hari
besar keagamaan, kepada dokter.

Masalah independensi pastinya bukan hanya monopoli dokter dan industri
farmasi. Dalam Pedoman Perilaku Hakim, seorang hakim juga disebutkan
hanya boleh menerima hadiah yang nilainya tidak lebih dari Rp500.000.

Nilai itu disebut-sebut jauh lebih rendah dari standar kode etik hakim
internasional yang memperbolehkan hakim menerima hadiah dengan nilai
maksimal US$200 atau setara dengan Rp1,8 juta.

Bagaimanapun, upaya menciptakan transparansi kerja berbagai profesi
memang layak dihargai. Semoga saja kode etik tadi tidak sekadar disimpan
dalam laci meja yang kemudian dilupakan di saat tidak ada yang
mengawasi.

Sulit memang. Sebab perselingkuhan memang mencurigakan, tapi sulit dibuktikan. (yeni.simanjuntak@...)

bisnis.com

No comments:

Post a Comment