Instagram

Translate

Wednesday, October 05, 2011

Sepuluh Tahun Perang Afghanistan

Quo Vadis
TEPAT sepuluh tahun lalu, yakni pada 7 oktober 2001,Presiden AS George Bush mengumumkan perang terhadap Osama bin Laden dan semua jaringannya. Osama dan jaringannya itu dianggap sebagai pelaku di balik peristiwa mega teror 9/11 yang menewaskan lebih dari 3.000 orang. Bush juga menyatakan perang terhadap Taliban yang dianggapnya sebagai kelompok yang akan melindungi Al-Qaidah. Setelah sebulan perang berlangsung, pada November Kabul pun jatuh ke tangan pasukan AS dan sekutunya yang dinamakan Aliansi Utara itu. Pada Desember 2001, pemerintahan sementara Afghanistan pun dibentuk dengan memilih pemimpin suku asal Pasthun,Hamid Karzai sebagai Presiden Afghanistan bentukan Amerika. Tidak heran, Karzai sering disebut sebagai pemimpin boneka karena memerintah sesuai dengan pesanan AS. Pada bulan yang sama, buruan AS, pemimpin Taliban Mullah Omar juga berhasil ditangkap.

Namun demikian, keberhasilan menangkap pemimpin Taliban itu, tidak berujung pada berakhirnya konflik di sana. Juga, bukan berarti Taliban berhasil dikuasai pasukan Aliansi Utara (pasukan NATO dan sekutunya). Justru dari sinilah malapetaka AS berawal. Bukan hanya AS, melainkan juga rakyat Afghanistan yang sampai kini tidak habis pikir mengapa AS memilih berperang di negeri mereka. Berdasarkan survei seperti dilaporkan CNN baru-baru ini, mayoritas warga Afganistan tidak mengetahui apa itu "Serangan 11 September" yang dalam hal ini merupakan motif utama AS menginjakkan kaki mereka di Afganistan.
Bagi rakyat Afganistan yang didomiansi oleh populasi muda itu,  kehadiran AS dan sekutunya hanya membawa penderitaan. Ini merupakan respon yang alami dari rakyat Afghanistan yang begitu terluka kaibat perang tidak berguna tersebut.

Bayangkan saja, ratusan ribu warga Afganistan tewas selama 10 tahun perang berlangsung di sana. Jumlah tentara AS yang meninggal pun terhitung sangat banyak mencapai lebih dari 2.700 orang. Parahnya, jumlah tentara AS  yang mati terbanyak terjadi pada 2010, mencapai lebih dari 700 orang. Untuk hitungan bulan, tercatat Juni 2010 sebagai bulan paling mematikan karena lebih dari 100 tentara AS tewas. Jatuhnya korban dari pihak AS ini masih berlanjut sampai kini, bahkan untuk tahun 2011 ini, terhitung AS mengalami kehilangaan tentaranya dalam jumlah terbanyak pada Agustus 2011, mencapai 70 orang. Ini menunjukkan, perang yang diserukan Bush sepuluh tahun lalu yang kemudian diteruskan penggantinya, Barack Obama, tidak menghasilkan perdamaian dan keamanan yang diharapkan AS. Justru musuh AS semakin banyak yang akhirnya menyulitkan negara ini untuk mendikte sejumlah kebijakannya di Timur Tengah dan wilayah lainnya di Asia akibat sentimen yang begitu tinggi di kalangan warga internasional.

Bagaimanapun yang namanya perang tidak akan pernah membawa ketentraman. Oleh karena itu, sejak awal pernyataan perang keluar dari mulut Bush, banyak orang sudah dapat memprediksi bahwa penderitaanlah yang akan terjadi. Ini terbukti,sepuluh tahun perang, puluhan ribu orang terbunuh dan ratusan miliar dolar AS terbuang untuk membiayai hal yang tidak berguna itu. Bahkan, penggunaan dana selama perang Afganistan, sebagiamana diungkap CNN (3/10) menunjukkan, tidak ada pengaturan dan proses audit yang jelas sehingga rawan penyimpangan. Soal ini memang sudah banyak diungkap bahwa tingkat korupsi di Afghanistan sangat tinggi. Dana yang didapat dari para pembayar pajak di  AS yang  digunakan untuk membiayai perang tersebut telah disalahgunakan. Uang tersebut dipakai untuk menyuap para kepala suku dan elit lainnya di Taliban agar mereka setia kepada AS. Selain itu, dana tersebut juga dipakai serampangan untuk membayar sejumlah organisasi non pemerintah yang membuka jasa layanan publik di sana, baik bagi tentara AS maupun elit Afganistan, diantaranya proyek jasa keamanan yang umunnya dikuasai klan keluarga Karzai (etnik Pasthun). Inilah yang menyebabkan perang di AFganistan bukan semata kebencian terhadap AS, tetapi juga kecemburuan sosial di antara warag setempat.  Akibat penggunaan dana yang tidak transparan ini, rakyat AS marah, baik itu kepada Bush maupun Obama. Akan tetapi, kedua pemimpin ini tidak hirau dengan protes warga yang menginginkan perang dihentikan dan semua tentara AS segera ditarik. Meskipun pada akhirnya, tekanan warga AS itu akhirnya membuat Obama menyetujui untuk memulangkan militer AS secara bertahap pada 2014 mendatang. Namun, ini sudah terlambat karena kerugian yang diderita baik oleh warga Afghanistan maupun rakyat AS sudah tidak ternilai. Krisis ekonomi di AS yang terjadi sejak 2008 lalu hingga kini belum berakhir. Bahkan jumlah hutang negara tersebut mencapai puncaknya pada Agustus lalu, yaitu sekitar 14,5 triliun dolar AS. Berdasarkan analisis sejumlah pengamat ekonomi AS, hutang AS yang besar ini dipicu oleh pengeluaran militer yang sangat besar. Bayangkan saja, untuk perang 10 tahun di Afganistan, AS telah membuang uang rakyatnya sendiri sebanyak 443 miliar dolar AS (lihat grafis) . Ini baru penghitungan di Afganistan, belum termasuk kalkulasi biaya perang lainnya di Irak dan negara Timur Tengah lainnya. Tidak heran, pundi-pundi keuangan AS semkain menipis, bahkan menjerat negara itu dalam hutang yang sangat besar yang akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi negara berpenduduk sekitar 270 juta jiwa itu.

Kendati kini Obama sudah mengeluarkan kebijakan akan menarik semua pasukannya secara bertahap sampai 2012 mendatang, ini bukan solusi yang terbaik. Mengapa? Karena Amerika meninggalkan Afganistan dalam keaddaann yang jauh lebih buruk sebelum perang dimulai 10 tahun lalu. Tidak heran, banyak pihak menganggap tindakan Amerika itu sangat tidak bertanggung jawab. Jadi, saat ini posisi AS sangat dilematis, maju kena, mundur pun kena. Ini memang menjadi simalakma bagi AS yang lebih mementingkan perang daripada perdamaian. AS harus menanggung konsekuensinya.

Harapan AS agar warga Afghanistan menjadi sekutu mereka tidak tercapai. Justru kebencian rakyat Afghanistan terhadap AS semakin meningkat. Pasalnya, perang yang diserukan AS 10 tahun lalu telah berpengaruh dahsyat terhadap cara pandang generasi muda Afganistan yang saat perang diserukan kali pertamnya oleh Bush itu, mereka masih anak-anak dan remaja.
Kini setelah 10 tahun berlalu, mereka tumbuh menjadi individu yang sangat membeci AS karena apa yang mereka saksikan dalam 10 tahun terakhir ini telah mengganggu kejiwaan para anak muda Afganistan itu. Tidak heran, mayoritas kaum muda Afhanistan menganggap keberadaan AS dan sekutunya adalah penjajah yang telah menyengsarakan mereka. Sikap mereka yang bermusuhan ini telah menyulitkan AS untuk menggolkan tujuannya menjadikan rakyat Afghanistan sebagai pendukungnya. Banyak dari anak muda ini bergabung menjadi mujahidin yang rela berjuang sampai titik darah penghabisan untuk mengusir AS dan sekutunya yang dianggap sebagai penjajah itu. Contohnya saja, laporan investigasi Newsweek (5/10)  menyajikan wawancara terhadap sejumlah kaum mujahidin muda Afganistan. Para pejuang muda ini mengatakan, mereka tidak akan pernah berhenti untuk menghancurkan kekuatan AS dan sekutunya. Bahkan, saat ditanya apakah Taliban sebaiknya menyerah kepada AS, para mujahidin ini dengan lantang mengatakan, Taliban jangan sampai membuat kesepakatan damai apapun sampai Amerika dikalahkan. Mujahidin Rahman (28), salah seorang yang diwawancarai Nesweek itu, mengatakan, meskipun ia sudah lelah bertempur selama tujuh tahun terakhir ini, bahkan sampai rela meningalkan istri dan anaknya, dia tidak akan pernah mundur sampai AS dikalahkan. Pria sal Provinsi Paktika ini menambahkan, bagi para mujahidin, waktu bukan masalah. Berapa lama pun waktu yangharus dihabiskan untuk bertempur, mereka akan jalani itu agar AS dapat dikalahkan. "Waktu bagi kami tidak ada artinya. Jam kalian suatu saat tidak akan berdetik lagi karena aus dimakan waktu. Namun, bagi kami, waktu tidak akan pernah habis. Berapa lama pun perjuangan yang harus kami lakoni, tidak jadi masalah. Kami pantang menyerah. Di akhir nanti, kami akan menang," kata Rahman kepada jurnalis Nesweek belum lama ini.
Hal yang sama juga diungkapkan pejuang lainnya, Jabar (26).  "Tidak ada batas waktu untuk memenangi perang ini," ujar pria yang kehilangan tiga jarinya saat bertempur dengan pasukan Aliansi Utara pimpinan AS itu.
Komandan pasukan mujahidin Afgnaistan Dadullah pun mengungkapkan hal senada bahwa tidak akan ada kata menyerah bagi pasukannya. Selain itu, kata Dadullah, pihaknya tidak pernah kehabisan pejuang. Setiap saat rekrutmen penjuang baru terus dilakukan. "AS tidak akan pernah memahami bertapa kami ini cukup kuat dan  mampu  bertahan lama  mengahdapi roket-roket AS dan senjata lainnya, ujar Dadullah yang kehilangan kaki kirinya saat berjuang melawan tentara Uni Soviet pada 1980-an. Pernyataan serupa pun diungkapkan seorang anggota Taliban yang dalam laporan Neswekk namanya tidak disebutkan. Anggota Taliban senior ini mengatakan, saat AS datang ke Afgnaistan 10 tahun llau, dirinya langsung tahu bahwa AS pada akhirnya akan memutuskan keluar dari Afganistan. Pasalnya, kata dia, tentara AS memiliki banyak kenyamanan hidup di Amerika, rumah dan keluarga yang menunggu mereka. Namun, bagi para pejuang Afganistan, kenyamaan itu tidak pernah mereka rasakan. Sehari-hari mereka sudah biasa bergelut dengan pertempuran. "Para pejuang muda kami tidak pernah memikirkan waktu dan konsekuensi atas perjuangan yang mereka lakukan. Mereka tidak memiliki banyak hal untuk dirindukan. Banyak Pejuang Taliban tidak punya rumah sehingga mereka tidak terlalu peduli dengan apa yang dinamakan kenyamanan itu. Pokoknya, mereka akan terus berjuang untuk suatu niat yang suci, mengusir penjajah dari negeri ini," ujarnya.

Ini membuktikan, apa yang didapat AS dan sekutunya dalam sepuluh tahun Perang Afganistan adalah kemalangan yang telah menjerumuskan negara itu pada kerusakan yang beruntun, baik itu di bidang ekonomi maupun politik. Apa yang ditabur, itu pula yang dituai. Kini AS harus menuai semua konsekuensi akibat perang yang dibuatnya sendiri satu dekade lalu. (Huminca/"PR"/dari berbagai sumber)****


No comments:

Post a Comment