Mimbar Opini - Dasasila Bandung di Panggung Politik Global
NAM Conference will be held in Bali next week...and I found this old article of mine discussing some issues about NAM which was established according to Bandung Spirit in 1955....well, I will upadate later..this is just to refresh a bit about the NAM.. (Icha)

NAM Conference will be held in Bali next week...and I found this old article of mine discussing some issues about NAM which was established according to Bandung Spirit in 1955....well, I will upadate later..this is just to refresh a bit about the NAM.. (Icha)
PERUBAHAN adalah suatu yang sulit untuk dilakukan. Agar proses perubahan itu berhasil, tentu saja butuh kesungguhan untuk menjalani perubahan dibarengi dengan kerja keras. Tanpa itu, perubahan tidak akan berhasil. Niat saja tidak cukup. Ini pula yang harus disadari oleh negara-negara Asia-Afrika yang populasinya, 70 persen dari sekira 6,5 miliar penduduk dunia saat ini. Namun, populasi yang besar ini ternyata tidak menjadikan Asia-Afrika punya kekuatan mayoritas di dunia ini.
Indikasi ini bisa dilihat dari warna hubungan internasional yang ada selama ini, khususnya pasca-Perang Dunia II, aktor-aktor negara yang punya pengaruh kuat umumnya berasal dari negara-negara Amerika dan Eropa. Dari soal kebijakan politik, ekonomi internasional, mereka ini sangat dominan. Akibatnya, dunia yang berpenghuni lebih dari 200 negara ini, hanya didikte oleh kebijakan yang dibuat sejumlah negara di kawasan Eropa dan Amerika. Berdirinya sejumlah organisasi intrenasional seperti Bank Dunia, IMF (Intrenational Monetary Fund) dan WTO (World Trade Organization) adalah buah pemikiran negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan negara-negara Barat lainnya. Bisa disebut, mereka ini merupakan aktor penting yang memberi warna perekonomian dan politik internasional yang ada saat ini.
Gencarnya ekspor demokrasi ke seluruh penjuru dunia juga adalah ide dari negara-negara tersebut. Berkembang pesatnya sistem kapitalis dalam perekonomian dunia saat ini juga adalah buah karya mereka. Lalu kemana suara negara-negara Asia-Afrika? Jumlah populasi yang besar ternyata tidak membuat Asia-Afrika menjadi kekuatan yang bisa diandalkan dalam perumusan sejumlah kebijakan ekonomi dan politik internasional. Padahal, mayoritas negara-negara yang tinggal di benua Asia dan Afrika, pernah mengalami pengalaman buruk akibat kolonialisme yang dampaknya sampai kini masih membekas di negara-negara tersebut. Budaya feodalisme, paternalistik, yang masih kentara dalam birokrasi pemerintahan di sejumlah negara-negara Asia-Afrika, termasuk di Indonesia, adalah sebagian kecil efek negatif kolonialisme di masa lampau.
Kini, era kolonialisme memang sudah berakhir. Seluruh negara Asia-Afrika sudah merdeka, kecuali Palestina, yang nasibnya pun ada di tangan aktor-aktor kuat negara-negara yang mengklaim diri sebagai pencinta demokrasi.
Namun demikian, jangan salah, meski tidak ada lagi penjajahan fisik seperti saat Belanda dan Jepang memperbudak bangsa kita, menghisap kekayaan negara kita, kolonialisme itu tetaplah ada, tetapi dalam bentuk lain. Aroma penjajahan baru atau neokolonialisme itu sangat bisa kita rasakan. Kehadiran sejumlah rezim ekonomi internasional, misalnya WTO dan IMF, yang niatannya ingin mensejahterakan penduduk dunia, tetapi pada faktanya, hanya menjerumuskan banyak negara-negara di Asia-Afrika ke lubang kemiskinan dan kebangkrutan. Memang, ada juga negara Asia yang punya taji dalam kancah perekonomian global, seperti Jepang, misalnya. Tetapi, sayangnya negara ini justru pendukung sejumlah rezim perekonomian kapitalis bentukan negara-negara Barat. Ini terjadi karena dengan sistem ekonomi global yang ada saat ini, Jepang ada dalam zona nyaman di mana pundi-pundi uang negara ini begitu mudah terisi akibat hasil industri mereka laku di pasaran dunia.
Kembali ke persoalan keterpurukan ekonomi di kawasan Asia-Afrika, yang telah membuat kemiskinan jadi isu utama di kawasan tersebut. Banyak negara yang terperangkap dalam jebakan utang yang akhirnya membuat negara-negara tersebut sulit melakukan proses pembangunan. Soalnya sebagian besar penghasilan negara dipakai untuk bayar cicilan utang. Konsekuensinya, kebutuhan dasar rakyat, seperti pendidikan dan kesehatan terabaikan.
Harus diakui, keberadaan rezim-rezim buatan Barat tersebut berimplikasi terhadap keterpurukan sejumlah negara di kawasan Asia-Afrika. Bagaimanapun, rezim tersebut dibuat berdasarkan agenda-agenda politik dari negara-negara kapitalis seperti AS dan Inggris dengan tujuan untuk melindungi kepentingan ekonomi dan politik negara-negara tersebut. Dengan kata lain, mereka membuat rezim-rezim seperti IMF dan WTO, untuk memproteksi perekonomian mereka.
Juga tidak dapat disangkal, meluasnya praktik korupsi dan praktik pemerintahan otoriter, juga berkontribusi terhadap berkembangnya kemiskinan di kawasan Asia-Afrika.
Contoh lain, krisis moneter yang terjadi di Asia menunjukkan betapa kebijakan IMF dan WTO telah berkontribusi menghantarkan Indonesia dan negara lainnya menjadi negara miskin. Sejumlah kebijakan penentuan tarif dan kuota perdagangan yang ada selama ini, justru lebih banyak merugikan negara-negara Asia-Afrika. Parahnya, suara negara-negara Asia-Afrika yang jadi anggota rezim tersebut melempem.
Keikutsertaan sejumlah negara-negara Asia dan Afrika dalam sejumlah rezim perekonomian internasional lebih banyak sebagai pendengar dan tidak banyak melakukan aksi nyata yang memperjuangkan kepentingan mereka. Baru dua tahun terakhir ini, anggota-anggota WTO yang berasal dari kawasan Asia-Afrika mulai unjuk gigi, misalnya dalam pertemuan anggota WTO di Meksiko dua tahun lalu dan juga pertemuan WTO 2004, bangsa-bangsa Asia-Afrika mulai berani memprotes ketidakadilan sistem perdagangan yang dirumuskan oleh negara-negara maju seperti AS, Inggris, Jerman, dan Prancis.
Tetapi, hasilnya pun tidak maksimal, yang diperjuangkan bangsa-bangsa Asia-Afrika pun baru sebatas pada komoditi pertanian yang memang masih jadi andalan perkonomian mereka. Padahal, di era industri saat ini, komoditi pasar tidak melulu yang bersifat agraris. Banyak industri lainnya, seperti industri tekstil, yang sebenarnya banyak dilakukan di kawasan Asia-Afrika. Tetapi, malangnya tidak memberikan benefit bagi kehidupan perekonomian negara-negara Asia-Afrika.
Kemiskinan ini semakin diperparah dengan meluasnya tindak korupsi dan lemahnya aturan hukum di negara-negara tersebut. Akhirnya terjadilah kesenjangan ekonomi yang lebar antara negara-negara di Asia-Afrika dan negara-negara di kawasan Eropa dan Amerika. Tidak dapat disangkal, masalah ekonomi memang jadi persoalan krusial di sejumlah negara di kawasan Asia-Afrika. Lemahnya posisi Asia-Afrika dalam pembuatan sejumlah keputusan yang sifatnya global, juga diakibatkan keterpurukan ekonomi sejumlah negara-negara Asia-Afrika. Jadinya, posisi tawar menawar bangsa-bangsa di kawasan tersebut lemah. Sudah seharusnya, negara-negara Asia-Afrika menyadari realitas ekonomi dan politik dunia yang ada saat ini di mana ternyata pengatur dunia saat ini hanya ada di tangan segelintir aktor negara, di antaranya yang paling berpengarauh adalah AS.
Oleh karena itu, untuk membangkitkan kekuatan Asia-Afrika, perlu ada perubahan parameter relasi Asia-Afrika. Jika selama ini, kekuatan Asia-Afrika itu terpecah belah dalam sejumlah kerja sama subregional maka kini sudah saatnya, Asia-Afrika punya forum integral untuk menyatukan kekuatan mereka. Sudah saatnya, negara-negara di kawasan Asia-Afrika yang selama ini lebih sering jadi objek, kini saatnya bangkit untuk jadi subjek yang bisa membuat sejumlah rumusan kebijakan global baik itu di bidang politik atau ekonomi yang menguntungkan Asia-Afrika.
Perlu ada kesungguhan dan kerja keras di antara negara-negara Asia-Afrika untuk membangun kemitraan strategis baru agar melalui kemitraan tersebut, negara-negara Asia-Afrika bisa bangkit menjadi suatu kekuatan dunia yang tidak bisa diremehkan begitu saja oleh segelintir aktor yang mengklaim diri mereka sebagai negara-negara maju. Sebenarnya, ide membangun kekuatan Asia itu sudah pernah terwacanakan pada 50 tahun lalu, tepatnya pada Konferensi Asia Afrika (KAA) yang berlangsung di Bandung pada 18-24 April 1995, yang menghasilkan Dasasila Bandung.
Penyelenggaraan KAA pada 50 tahun lalu itu pun sungguh patut kita apresiasi secara luar biasa. Ternyata, sudah sejak lama bangsa-bangsa Asia-Afrika sadar bahwa mereka harus punya kekuatan sendiri agar tidak terperangkap oleh kekuatan dunia tertentu. Saat itu, kekuatan politik global memang bersifat bipolar (AS versus Uni Soviet). Namun sayangnya, ide-ide dari Semangat Bandung itu belum terwujudkan. Pasca-KAA pertama, belum ada lagi forum yang bisa mengintegrasikan kekuatan Asia-Afrika.
Bagaimana dengan Gerakan Non Blok (GNB)? Lahirnya gerakan ini pun didasari hasil KAA pada 50 tahun lalu. Sayangnya, gerakan ini pun sekarang melempem. Padahal keberadaan Dasasila Bandung tetap relevan dengan konteks politik global yang ada saat ini, sebagaimana penulis paparkan di bagian awal tulisan ini. Bangsa-bangsa Asia-Afrika tidak boleh lagi tersubordinasi oleh kekuatan politik atau ekonomi negara tertentu. Bangsa Asia-Afrika harus saling bekerja sama untuk membangun kemitraan strategis. Mantan Menlu RI Moctar Kusumaatmadja kepada penulis mengatakan bahwa bukan hal yang tidak mungkin, suatu hari nanti, melalui kerja sama yang baik, Asia-Afrika bisa bangkit menjadi kekuatan dunia, sejajar dengan Uni Eropa atau bahkan lebih.
Karena itu, momentum peringatan KAA ke-50 sekaligus penyelenggaraa KAA yang ke-2 di Indonesia jangan disia-siakan. Ajang tersebut harus dijadikan sebagai kesempatan untuk merevitalisasi sekaligus mewujudkan prinsip-prinsip yang ada pada Dasasila Bandung. Keberadaan kerja sama multilateral di antara negara-negara Asia-Afrika akan membantu penyelesaian sejumlah masalah di kawasan tersebut. Dengan demikian, melalui kemitraan strategis Asia-Afrika yang didasari Semangat Bandung, maka kompleksitas masalah Asia-Afrika, baik itu menyangkut aspek ekonomi maupun politik, akan terpecahkan. Semoga!***
Oleh HUMINCA

No comments:
Post a Comment