Instagram

Translate

Monday, December 14, 2009

Passion Fruit doesn't only grow in Berastagi...

Source :Sinar Harapan

 Brastagi di Sumatra Utara dan Makassar di Sulawesi Selatan selama ini dikenal sebagai sentra buah markisa. Berbagai produk markisa olahan dari kedua daerah ini telah masyhur di Indonesia. Tidak banyak yang tahu kalau sebenarnya sentra buah markisa bukan hanya ada di Brastagi dan Makassar. Di Jabar, persisnya di Kabupaten Garut, ternyata terdapat kebun markisa. Di Garut pula produk makanan dan minuman berbahan baku buah markisa diproduksi.
Adalah wajar apabila belum banyak orang tahu Garut adalah sentra buah markisa di Jabar. Maklum budi daya buah markisa baru diperkenalkan sejak tahun 2000 lalu. Adalah pasangan suami-istri, Eddy Achmad-Euis Suhana, yang menjadi pelopor pengembangan buah markisa di Garut. Bermula dari sebuah buku berbahasa Belanda yang dibaca pensiunan TNI AD ini tertarik menanam buah markisa. Lantas Eddy mencoba menanami lahan miliknya seluas 4 ha di kawasan Gedong Jangkung Garut dengan buah markisa.
Kondisi geografis dan iklim yang mendukung membuat dalam tempo 6 bulan Eddy bisa memanen buah yang memiliki nama Latin Passiflora edulis ini. Setiap ha-nya mampu dihasilkan tak kurang dari 15 ribu kg buah markisa. Kebingungan sempat muncul ketika buah markisa yang dipanen menumpuk. Dijual di pasar buah markisa ini tak laku. Rasanya yang asam sedikit manis tidak sesuai dengan selera lidah masyarakat Garut.
Buah markisa hanya laku dijual bila telah dioleh menjadi produk makanan dan minuman. Kebingungan ini tak berlangsung lama. Salah sebuah PTS di Bandung memberikan bantuan hibah berupa 3 mesin pengolahan buah markisa. "Dengan bantuan mesin itu mulailah kami memproduksi makanan dan minuman dari buah markisa," kata Euis kepada SH baru-baru ini.
Euis mengaku beruntung mendapatkan hibah mesin-mesin tersebut. walau mesin buah karya mahasiswa PTS itu masih sangat sederhana. Tetapi berkat mesin tersebut buah markisa dapat diolah sehingga memiliki nilai lebih untuk dijual. Beberapa produk olahan dari markisa yang dihasilkan antara lain dodol, sirup, sari pati hingga minuman suplemen penambah energi.

Proses Pengolahan
Proses pengolahannya tidak membutuhkan waktu yang lama. Setiap harinya bisa diproduksi sampai 50 botol sirup dan minuman suplemen serta sekitar 30-an kotak dodol. Menurut Euis untuk membuat sebotol sirup dibutuhkan bahan buah markisa sebanyak 1 kg. "Sirup dibuat tanpa dicampur bahan-bahan lainnya. Murni dari buah markisa. Maka itu butuh banyak buah markisa," timpal Euis. Ada perbedaan spesifik rasa markisa dari Brastagi dan Makassar dengan markisa Garut.
Markisa Brastagi rasanya cenderung manis. Sebaliknya markisa Makassar didominasi rasa asam. Sementara rasa markisa Garut justru merupakan perpaduan antara rasa markisa Brastagi dan Makassar. Rasa markisa Garut memang asam-asam manis. Perbedaan rasa ini membuat rasa produk olahan markisa Garut juga berbeda dengan produk sejenis dari Brastagi dan Makassar. Menurut Euis produk olahan markisa Garut justru sesuai dengan lidah masyarakat Sunda.
Oleh sebab itu, begitu produk olahan ini dijual, respons masyarakat cukup besar. "Awalnya memang hanya dijual di Garut. Tapi sekarang sudah dijual di Bandung dan Jakarta," kata Euis. Tak kurang 100 botol sirup setiap minggunya dikirim ke Bandung dan Jakarta. dengan harga setiap botolnya antara Rp 15 ribu-Rp 25 ribu.
Sesungguhnya permintaan sangat besar. Bahkan ada permintaan dari Jerman hingga ratusan botol sirup setiap bulannya. Namun karena masih bersifat industri rumahan, permintaan ini masih belum bisa dipenuhi. Produksi produk markisa olahan Garut memang masih belum bersifat massal sebagaimana halnya di Brastagi maupun Makassar.
Untuk mengolah markisa menjadi berbagai produk makanan dan minuman Euis hanya memiliki 8 karyawan. Faktor modal menjadi penghambat bagi Euis dan suaminya untuk mengembangkan usaha. Menurut Euis selama ini modal yang dikeluarkan berasal dari koceknya sendiri.

Terima Bantuan
Memang usaha Euis yang diberi nama Nayama Markisa Garut ini pernah menerima bantuan modal dari salah satu BUMN yang memiliki unit usaha di Kamojang Garut. Nilai pinjaman ini hanya Rp 10 juta. Pinjaman tersebut tentu saja tidak mencukupi. Bukan hanya tak mampu memenuhi permintaan pasar, produk markisa olahan buatan Euis ini cuma bisa dipasarkan secara informal. Euis mengatakan dirinya belum berani memasarkan produknya ke pasar swalayan maupun supermarket besar.
"Riskan bagi kami memasarkannya ke swalayan dan supermarket," kata Euis. Kenapa? "Karena biasanya pembayaran dilakukan tidak di muka. Bisa sebulan kemudian baru dibayarkan. Jelas ini menyulitkan kami yang membutuhkan modal. Daripada uang yang semestinya bisa dipakai untuk modal mengendap, lebih baik tidak masuk ke swalayan dan supermarket," jawab Euis menambahkan.
Sebagai perintis, Eddy-Euis mempunyai obsesi menjadikan Garut sebagai sentra buah markisa. Obsesi ini sebenarnya sudah diambang terwujud. Masyarakat di sekitar tempat tinggal pasangan ini setelah tahu keberhasilan Eddy-Euis mulai melirik usaha yang sama. Untuk memasyarakatkan penanaman buah markisa, Euis pun menjual bibit markisa. Kemudian Euis juga membeli buah markisa hasil tanaman masyarakat setempat dengan harga Rp 1000/kg. Pasokan dari masyarakat itulah yang dipakai sebagai bahan baku membuat produk markisa olahan.
Bukan hanya itu saja. Kini juga telah ada 3 unit usaha produk markisa olahan di Garut. Perkembangan yang pesat ini tidak menutup kemungkinan membuat Garut memiliki julukan baru. Setelah selama ini dikenal sebagai Kota Dodol, maka suatu saat bisa saja Garut dijuluki sebagai Kota Markisa.

No comments:

Post a Comment