Hari Ibu : Upaya Pembebasan Perempuan - Nasional - Politikana

22 Desember kita mengenal hari Ibu. Apa makna dan sejauh mana dalam konteks kekinian. Peringatan Hari Ibu di Indonesia dirayakan dengan cara yang mirip dilakukan di banyak negara, terutama Amerika Serikat, dalam merayakan Mother’s Day. Pada Hari Ibu itu, kita, masyarakat Indonesia mengungkapkan rasa sayang pada para ibu sebagai orang tua kita. Ada juga yang mengadakan berbagai perlombaan, lomba memasak, menjahit, meskipun ada juga dengan membebaskan para ibu dari tugas-tugas domestik.
Dalam konteks Indonesia, hari Ibu yang diperingati setiap 22 Desember dimaksudkan untuk mengenang perjuangan kaum perempuan menuju kemerdekaan dan pembangunan bangsa. Tanggal tersebut dipilih karena pada 22 Desember 1928 Kongres Perempuan Indonesia I mulai digelar di gedung yang saat ini dikenal dengan Mandalabhakti Wanitatama Yogyakarta. Hari itu dianggap peristiwa bersejarah dalam konteks perjuangan kaum perempuan Indonesia. Penamaannya menjadi “Hari Ibu” memang membuat problematis, sehingga sering disalahpahami.
Perayaan Hari Ibu selama ini tampak “kurang revolusioner”, kurang mengarah ke perubahan progresif, kurang menyuarakan isu-isu mendasar yang dihadapi kaum perempuan, dan cenderung melunak. Apakah ini bagian dari desain rezim untuk meminimalisasi gejolak sosial, khususnya dari kaum perempuan?
Terkait dengan itu, patut diajukan pertanyaan pula, setelah sekian tahun tonggak perjuangan kaum perempuan Indonesia berlalu, apa yang terjadi dengan nasib kaum perempuan di Indonesia? Apakah agenda perjuangan kaum perempuan saat itu yang berkumpul serta menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan hari ini telah tercapai?
Sementara itu, kondisi kesehatan perempuan Indonesia terbilang masih rendah. Dari berbagai data penelitian, angka Kematian Ibu (AKI) saat melahirkan berkisar antara 300 hingga 800 per 100.000 kelahiran hidup. Yang penting digarisbawahi, WHO memperkirakan bahwa 10 hingga 50 persen kematian ibu tersebut disebabkan oleh aborsi (Anshor, 2006: 42-43).
Peningkatan mutu kehidupan di sektor pendidikan dan kesehatan, terutama untuk perempuan, mestinya mendapat perhatian lebih. Pendidikan membuka kesempatan yang tak berhingga kepada perempuan, untuk mendapatkan akses ke berbagai sektor kehidupan lainnya serta untuk mobilisasi sosial. Pendidikan dapat memberikan pencerahan kepada kaum perempuan sehingga ia dapat lebih mudah bergerak dalam kehidupan sosial dan, karena itu, tak begitu saja diperlakukan sebagai jenis kelamin kedua. Singkatnya, pendidikan dapat menjadi kekuatan transendensi perempuan.
Peningkatan mutu pendidikan haruslah diupayakan untuk benar-benar menjadi jalan pembebasan sehingga kaum perempuan diperlakukan sebagai pribadi yang utuh. Di tengah kepungan kapitalisme-global, ada kecenderungan untuk mereduksi perempuan sebagai tubuh belaka. Dengan dalih kemandirian, identitas, dan “kebebasan”, perempuan dibujuk—atau bahkan mungkin “dipaksa”—melalui perangkat pencitraan yang begitu kuat dan masif untuk berhenti pada dan berpuas diri dengan pencapaian ekonomis dan mobilitas sosial yang lebih leluasa yang diraihnya.
Di tengah situasi seperti ini, pendidikan diharapkan menjadi media pengantar membentuk pribadi yang kuat, kritis, dan otonom. Perempuan didorong untuk semaksimal mungkin mengolah kebebasan ontologisnya dan meneguhkan kebebasan eksistensialnya menjadi kebebasan efektif yang dapat menyelamatkan dirinya dari sikap malafide—pengingkaran atas kebebasannya dan keengganannya untuk hidup autentik.
Dalam kerangka inilah mungkin semangat tuntutan salah satu rekomendasi Kongres Perempuan Indonesia I tahun 1928 untuk penguatan pendidikan untuk anak perempuan (melalui beasiswa, pemberantasan buta aksara, dan sebagainya).
Semangat lain yang patut ditegaskan dalam rangka peringatan Hari Ibu adalah pentingnya kebersamaan (organisasi) dalam mewujudkan cita-cita pembebasan kaum perempuan....!!!!

No comments:
Post a Comment