Translate
Thursday, May 11, 2006
edu and korup
Komersialisasi, Nodai Dunia Pendidikan Kita
Kamis, 23-Desember-2004, 10:20:22
24 klik
http://www.antikorupsi.org/mod.php?
Persoalan pendidikan di Indonesia begitu kompleks. Tak heran jika hak-hak dasar sebagian besar warga negara ini untuk memperoleh pendidikan, belum terpenuhi. Termarginalkannya hak-hak warga miskin untuk memperoleh pendidikan merupakan efek dari carut-marutnya pendidikan kita. Tidak dapat disangkal pula, derasnya arus komersialisasi dan kapitalisme pendidikan telah membuat semakin banyak orang miskin tidak bisa mengakses pendidikan dasar di negara ini.
Menjadikan pendidikan sebagai komoditas adalah sebuah kekeliruan karena pendidikan bukanlah produk massal seperti sepatu, mobil, atau komputer. Pendidikan adalah investasi bangsa di masa depan dan bukan barang pabrikan. Hasil dari pendidikan nantinya akan menentukan pembangunan bangsa ini. Fakta di lapangan ternyata berbeda, pendidikan telah menjadi ladang bisnis. Sekolah memungut uang kepada orang tua siswa dengan alasan subsidi dari pemerintah tidak cukup. Ironis sekali, di tengah gencarnya program wajib belajar, praktik komersialisasi pendidikan pun berkembang semakin pesat. Untuk mengeliminasi hal itu, intervensi pemerintah dalam soal anggaran pendidikan amat dibutuhkan. Bila ada anggapan bahwa pembiayaan pendidikan itu adalah beban, sangat memprihatinkan. Lebih mengenaskan lagi, adanya fakta yang mencuat saat ini bahwa pemerintah di era Orde Baru mementingkan pembelian sejumlah tank dan senjata yang harganya puluhan triliun rupiah daripada menggratiskan anak-anak miskin untuk sekolah. Penetapan anggaran pertahanan yang lebih besar daripada pendidikan adalah hal yang patut dipertanyakan. Sudah seharusnya pemerintah berupaya keras untuk membebaskan rakyat miskin dalam biaya pendidikan. Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa pemenuhan hak-hak dasar warga yang di antaranya hak atas pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun, sampai detik ini implementasi pemenuhan hak-hak dasar tersebut tak kunjung terealisasi, hanya bergaung pada tingkat retorika. Termasuk program 100 hari pendidikan yang diluncurkan Mendiknas. Dengan kata lain, pemerintah harus menjadi sponsor utama penyelenggaraan pendidikan, terutama pendidikan dasar dan menengah di negara ini. Hal ini telah ditegaskan dalam UU Sisdiknas 2003 pasal 34 ayat 2, yang berbunyi pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Dalam pasal yang sama ayat 3 memang disebutkan bahwa wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemda, dan masyarakat. Namun tidak berarti masyarakat dijadikan andalan utama dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut. Jika ini terjadi, dikhawatirkan akan menyurutkan pemerintah menunaikan kewajibannya memenuhi hak warga negara atas pendidikan. Padahal dalam UU Sisdiknas jelas-jelas disebutkan, pemerintah tetap berperan utama dalam hal pembiayaan pendidikan dasar 9 tahun. Tentunya pembebasan itu bukan sekadar SPP seperti yang ada saat ini, tetapi terhadap semua biaya sekolah. Meski sampai saat ini alokasi dana pendidikan di Jawa Barat sebesar 20 persen dari APBD belum tercapai, hal ini tidak boleh dijadikan alasan bagi pemerintah untuk membebankan biaya pendidikan kepada orang tua murid. Apalagi di tengah-tengah lesunya perekonomian sekarang ini, beban orang tua dipastikan kian berat. Selama ini kemiskinan telah menjadi kendala masyarakat untuk mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan akses kebutuhan dasar lainnya. Seperti diungkap banyak pakar, kemiskinan yang menghantam republik ini, utamanya bersumber dari perilaku korup masyarakat kita mulai dari tingkat birokrat sampai akar rumput. Demikian juga untuk bidang pendidikan, praktik korupsi bukanlah hal yang baru. Bahkan saking parahnya korupsi di bidang pendidikan, Depdiknas pernah menduduki peringkat kedua sebagai lembaga terkorup setelah Depag. Sungguh tragis! Khusus di Jawa Barat, pada tahun 2004 ini tercatat sejumlah kasus korupsi mulai dari penyunatan gaji guru, jual beli nilai, mark-up anggaran, dan sejumlah kasus lainnya. Di Kota Bandung, praktik korupsi di sejumlah sekolah pun tak terelakkan. Parahnya, praktik tersebut dilakukan oleh sejumlah oknum kepsek, guru, pegawai disdik, dan masyarakat. Sejumlah kasus penyimpangan yang terjadi pada PSB (penerimaan siswa baru) 2004 adalah salah satu bukti mewabahnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di negara ini. Berkaitan dengan sejumlah pelanggaran PSB, seharusnya komite sekolah bisa memainkan peranannya untuk mencegah agar penyimpangan tidak terjadi. Komite sekolah yang seharusnya memiliki posisi kuat dalam mengkritik kebijakan sekolah yang tidak akomodatif dengan kepentingan pemebelajaran siswa, justru bersuara melempem. Bahkan sejumlah oknum anggota komite sekolah pun ikut terlibat dalam sejumlah penyimpangan di dunia pendidikan. Tidak heran, jika ada tuntutan komite sekolah sebaiknya dibubarkan saja. Selain masalah PSB, masalah buku ajar juga menjadi suatu problem krusial yang harus diselesaikan. Dalam hal ini, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dengan memberlakukan ganti buku ajar setiap lima tahun. Pemerintah menilai, kebijakan ini akan meringankan beban para orang tua yang setiap tahunnya harus mengeluarkan biaya belanja tinggi bagi kebutuhan sekolah anak-anak mereka. Sudah menjadi rahasia umum buku pelajaran sekolah sering dibisniskan oleh para guru dan juga kepsek. Yang meraup untung pun bukan hanya penerbit buku, tetapi juga para guru yang mendistribusikan buku-buku dari penerbit tersebut kepada para anak didik mereka di sekolah-sekolah. Menurut Imas, salah seorang guru di Bogor, dari satu buku saja guru bisa menerima rabat 30-40 persen. Ini berarti keuntungan yang cukup menggiurkan bagi mereka sehingga tidak heran sejumlah guru begitu semangat menjual buku di kelas-kelas. Dalam masalah guru jual buku, kebijakan pemerintah yang memberlakukan masa berlaku buku selama lima tahun akan mengikis perilaku cari untung guru seperti itu. Tetapi, untuk mengakomodasi kebijakan pemerintah seperti itu, perlu dibuat payung hukum, setidaknya dalam level kabupaten atau kota yang mengharamkan bisnis buku pelajaran. Koridor hukum tersebut dinilai penting untuk meng-counter citra buruk guru yang dikenal sebagai agen buku. Memang ada juga yang mengatakan tidak setuju dengan pemberlakuan masa pakai buku. Mereka khawatir jika masa pakai buku ajar ditetapkan selama lima tahun, akan menurunkan kualitas pendidikan di negara ini. Pasalnya, derasnya arus informasi telah menyebabkan setiap detik informasi akan terus bertambah dan ini harus diakomodasi dengan baik sehingga para anak didik tidak ketinggalan informasi. Tetapi, dalam hal ini, pengamat pendidikan asal UPI, Prof. Said Hamid Hassan, dalam salah satu wawancaranya menilai, fungsi perpustakaan sangat penting untuk menjembatani gap antara daya beli buku masyarakat yang rendah dengan pesatnya perkembangan arus informasi. Menurut Said, perpustakaan harus dibuat untuk melayani kebutuhan anak didik dalam mendapatkan beragam informasi. (Icha/PR)
Anwar and Asia
Anwar, ”ASEAN Plus itu Propaganda”
SOSOK mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, ternyata masih begitu melekat di hati masyarakat Indonesia termasuk di Bandung. Buktinya, sejak tiba di Indonesia pada 6 Desember lalu, Anwar disambut dengan sangat hangat. Bahkan di Bandung, ratusan mahasiswa berkumpul di Aula Timur ITB untuk mendengarkan ceramahnya mengenai masalah kebangkitan bangsa-bangsa Asia serta reformasi dan dinamika perubahan di Asia.
Meski aktivitas politiknya pernah membuat Anwar dicabut kebebasannya oleh Pemerintah Malaysia, hal ini tidak lantas mengurangi komitmen Anwar terhadap perjuangan untuk menegakkan HAM, demokrasi, dan kebebasan di Asia. Dia menilai pemerintahan Asia yang umumnya otoriter telah membuat rakyat menderita, korupsi merajalela, kemiskinan, dan penyakit sosial lainnya.
Di sela-sela agendanya yang sangat padat ketika mengunjungi Kota Bandung, wartawan "PR" Huminca Sinaga dan Zaky Yamani beruntung dapat mewawancarai secara khusus tokoh reformasi Malaysia yang baru saja dibebaskan pada 2 September lalu setelah mendekam di penjara Malaysia selama 6 tahun. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana menurut Anda konstelasi politik global ke depan di era Amerika Serikat yang lebih suka mengambil tindakan unilateral?
Sangat tidak menyenangkan. Sangat menimpangkan. Menjalankan dialog adalah sangat penting untuk mengatasi sejumlah persoalan politik global saat ini. Sementara itu, negara-negara Asia yang terkenal dengan rezim otoriternya harus melakukan pembersihan diri dari tindak korupsi yang memang di negara-negara Asia, tidak dapat disangkal, korupsi berkembang begitu pesat. Penguatan demokrasi, penghargaan terhadap HAM, kerja sama multilateral, good governance merupakan hal yang sangat penting untuk diimplementasikan di seluruh negara di dunia ini, sehingga dunia yang aman dan damai pun akan tercipta.
Selama ini, gaung Malaysia amat dikenal di kancah politik global. Melalui debat-debat politiknya dengan sejumlah pemimpin negara-negara Barat, Mahatir Muhammad telah mempopulerkan 'Asian values'. Jika dikaitkan dengan kepemimpinan PM Abdullah Badawi saat ini, bagaiman Anda melihat kepemimpiann Badawi ke depan?
Saya setuju dengan sikap Badawi yang mempromosikan antiimperialisme di level internasional. Tetapi, hal-hal yang busuk di ladang rumah sendiri harus juga dibersihkan. Take care your own backyard! Apa yang digaungkan di luar harus seirama dengan apa yang dilakukan di dalam. Jangan hipokrit. Diktator yang paling efektif itu adalah semua yang antiimperialisme. Mugabe, Hitler, Stalin adalah orang-orang yang antiimperialisme, tetapi mereka ini justru yang membuat rakyat di negara mereka menderita. Jutaan rakyat mati sia-sia di bawah rezim mereka.
Berkaitan dengan nilai-nilai HAM yang universal, apakah keberadaan Asian Values tidak konflik dengan keberadaan nilai-nilai HAM yang universal karena di Asia sendiri kita mengenal 'cultural relativism'?
Pada hemat saya, pemahaman tentang konsep Asian Values yang mempertahankan sistem yang otoriter dan menekan, serta menafikan hak asasi, itu tidak boleh dipertahankan baik dari segi ilmiahnya, akademiknya, atau sejarahnya. Pasalnya, para pemikir Asia yang wise, sejak dulu tidak pernah menghina hak asasi rakyat. Dan, dignity manusia itu adalah kebanggaan yang integral dari Asian Values. Jadi, saya menganggap Asian Values itu, bahkan lebih kuat pijakannnya untuk mempertahankan demokrasi, kebebasan, dan human rights.
read more http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1204/09/0108.htm
Venus and Mars
Amerika dan Eropa Bersaing Kuasai DuniaOleh HUMINCA SINAGA
AMERICANS are from Mars, and Europeans are from Venus. Kalimat yang dikutip dari buku berjudul Of Paradise and Power: America and Europe in the New World Order karya Robert Kagan (New York: Knopf, 2003) tersebut akan sangat menolong kita dalam memahami relasi antara Amerika Serikat (AS) dan Eropa selama ini.
Amerika berasal dari Mars dan Eropa berasal dari Venus adalah gambaran tepat untuk menunjukkan bahwa Amerika dan Eropa itu adalah dua karakter yang berbeda karena mereka memang berasal dari dua planet yang berbeda.
Belakangan ini, baik Eropa dan Amerika diketahui memiliki perbedaan pandangan yang sulit untuk disatukan. Oleh karena itu, dalam percaturan politik global, mereka sering berseteru.
Perbedaan pandangan tersebut pula yang kerap kali menyebabkan konflik muncul di antara keduanya. Hal ini bisa kita lihat dari sikap kedua aktor tersebut dalam menanggapi sejumlah masalah internasional.
Sebagai contoh, ketika AS memulai Perang Irak 2003, sejumlah negara besar Eropa, seperti Jerman dan Prancis, menolak untuk bergabung dengan AS. Akibatnya, kasus invasi AS ke Irak tersebut telah menimbulkan kerenggangan hubungan transatlantik, hubungan antara Amerika dan Eropa.
Dalam menyelesaikan masalah Irak tersebut, Amerika dan Eropa memiliki pandangan yang berbeda. Eropa tidak setuju dengan tindakan Amerika yang unilateral dengan melakukan invasi ke Irak tanpa persetujuan dari Dewan Keamanan (DK) PBB. Lembaga PBB dianggap tidak ada oleh negara adi daya itu. Mereka mencela sikap AS yang mengesampingkan forum kerja sama multilateral.
Bagi Eropa, semua masalah harus diselesaikan dalam kerangka international cooperation. Sedangkan Amerika, sebaliknya, apa pun bisa dilakukan guna merealisasikan kepentingannya. Eropa meyakini bahwa kerja sama multilateral bisa mengeliminasi peperangan atau konflik. AS sebaliknya, apa pun meski itu perang halal dilakukan, selama itu ditujukan untuk melindungi kepentingan nasional negara adidaya tersebut.
Selain kasus Irak, kasus lainnya, yaitu masalah ratifikasi Protokol Kyoto (Kyoto Protocol) yang merupakan perjanjian di antara sejumlah negara di dunia untuk mengurangi emisi gas buang. Kembali AS dan Eropa mempunyai pandangan yang berbeda mengenai emisi gas buang. Eropa menyadari bahwa tumbuhnya industri telah berkontribusi kuat terhadap terjadinya pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim udara. Sekarang saja, sebagian dari efek pemanasan global itu sudah kita rasakan, yaitu suhu yang semakin meningkat. Jika hal ini terus dibiarkan, peningkatan suhu akan memberikan pengaruh buruk terhadap sejumlah sektor kehidupan manusia, seperti pertanian, ketersediaan air, dan lain-lain. Oleh karena itu, keberadaan Protokol Kyoto merupakan hal yang harus direspons secara positif. Sayangnya, Amerika yang semula ikut meluncurkan perjanjian itu, tiba-tiba di tengah jalan menolak untuk meratifikasinya. Akhirnya bisa ditebak, sejak ide awal itu diluncurkan di Brasil pada 1992 lalu, sampai kini Protokol Kyoto belum bisa diratifikasi.
Penarikan mundur AS dari protokol tersebut pada 1997 membuat perjanjian mengurangi emisi gas buang itu terkatung-katung. Untungnya pada pertengahan 2004, Rusia sepakat untuk menandatangani protokol itu. Sehingga pada Februari 2005, Protokol Kyoto akan segera diimplementasikan. Tentunya ini adalah kemenangan bagi pihak-pihak yang mengutamakan kerangka multilateralisme.
Kasus ratifikasi Protokol Kyoto menunjukkan kepada kita bahwa semangat multilateralisme harus ditempatkan di atas segalanya. Sayangnya hal ini tidak dimiliki AS yang lebih suka menggunakan tindakan sepihak (unilaterlisme) untuk menggolkan kepentingannya.
Dari kasus tersebut, bisa dilihat bahwa Eropa lebih suka memilih kerja sama internasional sedangkan Amerika sebaliknya, unilateralisme.
Perbedaan pandangan
Kedua contoh kasus di atas cukup menjelaskan bahwa Amerika dan Eropa adalah dua dunia yang berbeda.
Perbedaan pandangan antara Eropa yang lebih mengedepankan kerja sama multilateral dan Amerika yang lebih suka tindakan unilateral, telah menyebabkan mengapa Eropa dan Amerika belakangan ini sering kali berseberangan.
read more http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1204/16/lapsus1.htm
Monday, May 08, 2006
Friday, May 05, 2006
Subscribe to:
Comments (Atom)


