Instagram

Translate

Tuesday, November 09, 2010

masa depan negeri ini sebenarnya ada di tangan Singapura?


Orang-orang Terkaya Indonesia dan Masa Depan Kita

July 12th, 2007 | Investment

Siapa saja sih orang-orang terkaya di negeri ini? Dari angkatan lama ada Sukanto Tanoto, Putera Sampoerna, Eka Tjipta Widjaja, Rachman Halim, Robert Budi Hartono, dan Liem Sioe Liong yang selalu jadi langganan Forbes. Ada juga pengusaha lokal seperti Aburizal Bakrie dan Arifin Panigoro dan yang baru seperti Eddie William Katuari, Trihatma Haliman, atau Chairul Tanjung.

Ada juga beberapa junior seperti Sandiaga Salahuddin Uno dan Patrick S Walujo yang kelak berpotensi menjadi yang terkaya di Indonesia. Sandi adalah Ketua HIPMI dan mantan credit officer Bank Summa. Tahun 1998 Sandi dan Edwin Soeryadjaya mendirikan Saratoga Capital. Mereka mengantongi US$ 1 miliar dan investasinya masuk kemana-mana. Sandi kini juga mengejar proyek Tol Cikampek-Palimanan dan tambang emas Newmont di NTB.

Sedangkan Patrick adalah mantan bankir Goldman Sachs yang kini nahkoda Northstar Pacific. Walau baru 3 tahun, ia sudah mengantongi Alfa Retailindo dan Alfa Mart yang dulu di bawah Sampoerna. Northstar juga memiliki perusahaan LNG dan ladang migas di Sumatera Selatan. Dana yang dikelolanya sekitar US$ 100 juta dan sebagian dari Texas Pacific Group. Mereka juga sedang memburu Garuda Indonesia dan Blok Cepu.

Ada pula Rosan P Roeslani, yang bersama Sandi membangun Recapital Advisors; dan Tom Lembong, yang mengakuisisi BCA lewat Farindo. Recapital mengantongi Bank BTPN dan memenangi tender Dipasena, tambak udang terbesar Asia Tenggara. Sedangkan Tom adalah jebolan Morgan Stanley dan mantan Kadiv Asset Management Investment BPPN yang kini mendirikan Principia (Quvat). Quvat punya US$ 150 juta dan memegang Adaro serta Blitz Megaplex Cinema. Dalam pembelian Adaro; Sandi, Patrick, dan Tom tergabung dalam konsorsium dibantu Edwin dan Teddy; plus Erick Tohir, pemilik Grup Mahaka.

Mahaka sendiri pemegang sahamnya adalah M Lutfi, bekas ketua HIPMI yang jadi Kepala BKPM. Lutfi adalah putra Gunadarma yang sebelumnya adalah menantu Hartarto (Menperin Orde Baru). Bekas istrinya punya sekolah desain, ESMOD, dan istri Lutfi kini adalah Bianca Adinegoro. Ada juga Erick Tohir dan Boy Garibaldi Tohir. Erick sedang menggenjot JakTV bersama Artha Graha Group, sambil memosisikan Republika di 3 besar. Sedang Boy Garibaldi adalah salah satu direktur Adaro. Erick pernah mengatakan bahwa Lutfi dan Wisnu Wardhana tak aktif di Mahaka. Barangkali Wisnu sekarang sibuk mengurus perusahan sekuritas dan pembangunan apartemen di depan BEJ.

Nama lain yang cukup berkibar adalah Hary Tanoesoedibjo dari Bhakti Asset Management dan Global Mediacom. Bhakti pernah sukses membeli Salim Oleochemical dari BPPN. Hary Tanoe pernah mendirikan Indonesia Recovery Company Limited bersama Asia Debt Management. Ia juga dikenal dekat dengan George Soros dan sering dititipi dana investasi para konglomerat papan atas, termasuk Salim. Belakangan Harry dikenal sebagai raja media dengan bendera MNC.

Ada juga rising star grup Axton yang baru memulai bisnis. Pemiliknya konon anak muda berusia 25 tahun yang merangkak dari nol. Mereka mengelola dana investor dengan menerapkan value investing ala Warren Buffett. Sayang saya kurang informasi mengenai mereka. Ada yang bisa menambahkan? Yang jelas, mereka semua adalah anak-anak muda brilian, berlimpah harta, lulusan luar negeri, punya pengalaman segudang, dan closely-related each other.

Bagaimana Mereka Membangun Kekayaan

Keberadaan orang-orang terkaya di sebuah negara penting untuk menggerakkan ekonomi secara agregat dan memberi efek multiplier. Mereka juga bisa menghitamputihkan bangsa, dan bahkan, sampai jadi bahan gosip tak berkesudahan. Mereka jualah yang sebenarnya menggambar cerita masa depan bangsa.

Di Amerika, banyak pengusaha kecil yang kemudian jadi besar. Tengok Google. Mereka punya kapitalisasi di atas Coca Cola (US$ 137 milyar) dan hanya sedikit di bawah Intel. Jaringan ritel Wal-Mart yang dimulai Sam Walton dari nol, kini kapitalisasi pasarnya hampir US$ 200 milyar. Dan yang fenomenal tentu Microsoft dengan kapitalisasi hampir US$ 300 milyar. Kalau tahun 1991 lalu saham MSFT dihargai cuma US$ 5, kini sudah lebih dari US$ 80 per lembar. Angka ini cuma bisa dilampaui Exxon Mobil yang memang sudah mapan lebih dari seabad dengan kapitalisasi US$ 473 milyar.

Iklim investasi di Amerika memang sudah terbangun sedemikian rupa dan tersedia berbagai insentif bagi (calon) wirausahawan yang bermaksud membangun bisnis baru. Berbagai peraturan dan rule of the game juga jelas ditegakkan dan menjamin kelangsungan usaha mereka. Dan memang bisa dikatakan bahwa cukup banyak orang-orang terkaya di Amerika yang memulai usahanya dari nol karena memang dikondisikan demikian. Berbeda 180 derajat dengan di Indonesia.

Di Indonesia, orang-orang terkaya cenderung (maaf) masih rent seeking dan kurang kreatif. Calon orang-orang terkaya masa depan itu berangkat bukan dari bawah. Mereka jago finance, punya linkage dengan funding body di luar negeri—-namun tak punya fondasi industri yang kokoh. Mereka “cuma” pinjam uang ke luar, membeli perusahaan yang dihajar krisis moneter 1997, lalu tinggal menuai panen. Mereka membentuk semacam private equity atau hedge fund untuk memenuhi kebutuhan pendanaan. BPPN atau PPA-lah yang jadi mak comblang tender jual-beli ini.

Namun naluri su’udzon saya bilang bahwa mereka juga berinvestasi di politik. Misalnya, ingat kasus BLBI. Seperti kita tahu, tender biasa dilakukan di Gedung Bidakara, milik BI. Kita juga tahu bahwa petinggi BPPN kebanyakan merupakan keluarga BI. Lucunya, ada salah satu parpol yang juga dekat dengan BPPN dan sering mengadakan hajatan di Gedung Bidakara. Partai tersebut juga mencak-mencak ketika namanya disangkutkan dengan kasus DKP dan mengancam siapapun yang mengungkit dana DKP dengan alasan character assasination. Kalau tidak salah, partai tersebut juga yang meloloskan Anwar Nasution sebagai ketua BPK. Anwar adalah mantan Deputi Gubernur BI dan BPK adalah lembaga superior satu-satunya yang bisa “mengaudit” kinerja BPPN dan BI.

Nah, pertanyaan su’udzon saya, apakah perusahaan-perusahaan murah tersebut memang dijual kepada bidder terbaik dengan harga tertinggi; atau orang-orang terkaya masa depan Indonesia tersebut mendapatkannya lewat cara lain? Silakan simpulkan sendiri.

Tentang Temasek dan Singapura

Yuk beralih sebentar ke Singapura. Temasek, bagi saya, adalah model bisnis yang sangat bagus. Temasek adalah ramuan antara talenta bisnis, visi strategik, dan kekuatan politik yang rancak. Mereka mengumpulkan aset yang nilai intrinsiknya di bawah nilai pasar, lalu dibeli dan dipoles, sampai harganya membumbung tinggi.

Kendati mengendalikan portofolio senilai lebih dari $80 milyar, sejak ditangani Ho Ching tahun 2002, organisasi Temasek bisa dibilang plain dan simpel. Sangat efisien. Temasek cuma punya tiga senior managing director dan delapan managing director. Mereka inilah yang berburu aset-aset strategis untuk dibeli—-terutama di luar negeri. Mereka membeli perusahaan-perusahaan yang “nampak” kurang sehat dan mengambil dengan proporsi yang sangat besar sehingga memegang kontrol pengambilan keputusan.

Direksi Temasek juga merupakan tokoh terkemuka dari kalangan pemerintahan dan politik, seperti S Dhanabalan, Kua Hong Pak, Koh Boon Hwee dan Kwa Chong Seng, Lim Siong Guan, Sim Kee Boon, yang sangat berpengaruh dan dipercaya oleh pemerintah. Mereka juga menjadi direktur di perusahaan pemerintah lainnya. Di Temasek, seorang direktur diangkat dan diturunkan atas persetujuan Presiden Singapura. Jelas, operasional Temasek sangat terbantu oleh kekuatan politis ini.

Talenta bisnis orang-orang Temasek juga jempolan. Sebutlah Kua Hong Pak, direktur PSA sekaligus orang dekat Lee Hsien Loong; Goh Yew Lim, direktur Direktur CIMB-GK Pte Ltd; dan tak kalah penting, Ho Ching, mantan dirut SingTel, executive director Temasek, dan istri Lee Hsien Loong. Temasek juga punya eksekutif dengan latar belakang mumpuni, misalnya Simon Israel (Sara Lee Corporation/Danone), Manish Kejriwal (McKinsey), Frank Tang (Goldman Sachs), Francis Rozario (Citibank). Wajar kalau Temasek selalu dapat yang terbaik: BII, Danamon, Telkomsel, Indosat, atau Astra.

Sayangnya Temasek tak melakukan assessment terhadap risiko politik yang mungkin dihadapi. Temasek terlalu naif berinvestasi hanya dengan melihat aspek finansial—-apalagi masuk di negara berkembang yang sarat dengan gonjang-ganjing politik. Mereka mungkin lupa bahwa jaminan hukum dan iklim bisnis yang kondusif tak selalu ada dan terjaga. Ho Ching juga punya reputasi tukang bikin bangkrut saat membeli produsen harddisk Micropolis sampai nyaris dipecat dari SingTel. Beliau juga membuat blunder terkait dengan pembelian Shin Corp di Thailand baru-baru ini. Ho juga orang yang tertutup, tak bersahabat, dan sulit dimengerti.

Manuver Temasek dan Singapura Sekarang

Temasek kini juga mencengkeram Astra. BusinessWeek menyebut Astra perusahaan terbaik 94 di Asia dan terbaik kedua di Indonesia (setelah Telkom). Lini bisnis Astra juga berkibar di berbagai sektor, sebutlah Astra Agro Lestari, Astra Graphia, Astra CMG Life, Asuransi Astra Buana, Federal International Finance, Astra Credit Company, sampai Bank Permata.

Proses akuisisi ini sebenarnya sudah dilakukan sejak krisis. Tapi puncaknya mungkin tahun 2003 ketika 39,5% saham Astra dijual BPPN ke konsorsium Cycle & Carriage Mauritius yang dimodali DBS. Mereka kemudian terus menambah kepemilikannya di Astra. Sekarang, 50,11% saham Astra dikuasai Temasek lewat Jardine Cycle & Carriage (JCC)—-perusahaan yang sebenarnya dulu pernah akan dibeli Astra Otoparts. Dengan pendapatan Rp 55 triliun, Astra jadi mesin uang buat Temasek.

Competitive Countries

Yang paling saya “suka” dari Temasek, ia bisa memasuki bisnis agro, otomotif, alat berat, infrastruktur, telekomunikasi, keuangan dan menguasai pangsa pasar yang disentuhnya. Tapi hebatnya, manuver Temasek begitu rapi, bertahap, dan low-profile. Nyaris tak terdengar. Ironisnya, pelaku pasar kebanyakan kurang “ngeh” dengan manuver Temasek. Repotnya lagi, kita lantas terbuai bahwa kalau perusahaan dikuasai imperium Temasek, dijamin pasti bawa untung.

Sejak 2004 Temasek memang banyak berburu di luar Singapura, dan hampir seluruhnya di sektor jasa keuangan dan telekomunikasi. Investasi terbesarnya antara lain BII, Danamon, Bank of China, Stanchart, dan Shin Corp. Silent expansion ini menyiratkan ambisi Singapura untuk menjadi financial hub di kawasan Asia: menguasai perbankan, mengendalikan telekomunikasi. Ke depannya, sektor apa sih yang bisa lebih “hot” dari dua industri itu?

Dan yang tak boleh diabaikan, ingat kasus transaksi derivatif Indosat? Temasek sampai mendatangkan mantan wakil Menteri Pertahanan Amerika untuk melobi pejabat-pejabat Indonesia. Tangan-tangan Temasek juga menggerayangi wartawan untuk mempengaruhi pemberitaan di media. Beberapa kasus yang membuat nama Temasek negatif seperti ini membuat mereka memasang Myrna Thomas sebagai managing director for corporate affairs untuk menetralisir persepsi orang. Belakangan fungsi kehumasan ini dianggap lebih strategis karena mereka memang banyak berekspansi ke luar negeri.

Nama “temasek” sebenarnya mengacu pada “sea town” atau nama purba Singapura. Lucunya, gara-gara sumpah Mahapatih Gajah Mada, Singapura (Tumasik) dulu pernah berada di bawah kekuasaan Nusantara. Sekarang, terlalu naif membandingkan negeri ini dengan Singapura. Walau cuma sebesar Jakarta, Singapura merupakan negara ke-17 terkaya di dunia. Repotnya, kendati mengeruk duit di Indonesia, Singapura terkenal kurang ramah terhadap negara kita.

Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat (Singapura)

Teorinya, membangun negara harus bertumpu pada infrastruktur untuk kemaslahatan umat. Di Amerika, mereka justru pertama-tama membangun rel kereta agar mobilitas rakyat (terutama menengah ke bawah) lancar dan menggerakkan kegiatan perekonomian serta pertumbuhan. Walau dicap kapitalis, mereka sebetulnya sangat berorientasi pada rakyat kecil. Jepang dan Eropa juga demikian. Di Indonesia justru terbalik keadaannya. Kita malah memprogram jalan tol 1000 km dan mengabaikan kereta api. Yang diuntungkan jelas para penggede, bukan rakyat kecil.

Saat sekarang, makroekonomi sudah beranjak pulih. Namun perusahaan-perusahaan bagus milik bangsa ini sudah kadung diambil (mayoritas) oleh Singapura. Sementara pembangunan, seperti tersebut di atas, tak berorientasi ke rakyat kecil. Jadi, lengkaplah sudah kesialan kita. Sementara kita tak sadar malah ber-haha-hihi mengikuti Tukul mengolok-olok diri sendiri.

Lihat ilustrasi berikut.

Di Bawah Ketiak Singapura

Kembali ke orang-orang terkaya tersebut di atas, hubungan Sandi dengan keluarga Soeryadjaya memang sudah sejak lama. Sandi pernah menangani perusahaan Edward (kakak Edwin) di Canada. Sandi dan Edwin pernah membangun situs e-marketing rumah123.com. Boleh jadi Sandi ada di bawah bayang-bayang Edwin. Sedangkan Patrick adalah menantu Teddy Rachmat, mantan petinggi Astra. Rosan P Roeslani adalah teman dekat Sandi. Mereka sangat dekat dengan Astra dan keluarga Soeryadjaya, anak pendiri Astra.

Sementara Astra, kita tahu, sudah dikuasai Temasek. Keluarga orang-orang terkaya lainnya—-baik angkatan lama atau angkatan muda—-juga dekat dengan lingkaran ini. Pendek kata, pemilik aset-aset strategis negeri ini kalau bukan Singapura ya orang-orang Indonesia yang dekat dengan Singapura.

Jadi, salahkah saya kalau berteori bahwa masa depan negeri ini sebenarnya ada di tangan Singapura?

Mudah-mudahan sedikit coretan ini bisa memotivasi pembaca sekalian—-agar tak cuma berpacu mengejar kekayaan, tetapi juga memperjuangkan nation pride. Saya, Anda, siapa pun juga pasti pengen jadi kaya. Masalahnya siapa yang ingin memulai dan siapa yang cuma ingin mengamati, atau ngrasani saja? Jujur saja, saya lebih senang bertransaksi dengan orang kita sendiri; yang jelas-jelas mengembalikan sebagian keuntungannya buat fakir miskin dan anak yatim. Tapi mau gimana lagi?



No comments:

Post a Comment