Struktur gaji di NGO « Anjar Priandoyo
Bagi pengalaman,
Saya memulai karir di NGO sebagai sukarelawan pada tahun 1996. Kala itu orang masih takut ber-NGO. Orang masih takut menerima brosur. Poster yang saya tempelkan juga dicopotin. Padahal isinya tentang konservasi alam. Semua berangkat dari hati, tidak ada bayaran. Kami para sukarelawan patungan untuk fotokopi dan atau jual barang – barang pribadi untuk mendukung program. Ternyata saya tidak kehilangan apapun dari kerja sukarela itu. Malah dapat ilmu banyak dan itu sungguh laku ketika saya melamar sebuah proyek konservasi alam Uni Eropa.
Di situ saya melihat perbedaan yang mecolok mengenai kinerja dan kualitas teman – teman, ditilik dari berbagai latar belakang yang berbeda: sukarelawan, dosen, pejabat atau profesional perusahaan. Kesimpulan saya, latar belakang menentukan bagaimana dia bekerja dan cara bagaimana mereka memandang uang atau penghasilan. Pada mulanya ini benar – benar mengejutkan saya dan tentu saja sulit dimengerti. Bagaimana mungkin, mau menolong masyarakat atau menyelamatkan alam kok minta bayaran yang setinggi langit. Profesional ya profesional, tapi ngukur dong (pakai nurani ngukurnya…) Misalnya, proyek bantuan untuk petani senilai 100 juta. Kalau dihitung – hitung, gaji dan biaya perjalanan dinasnya sudah mencapai 50 juta atau bahkan sampai 100 juta. Ini sama sekali nggak lucu. …..profesional dimananya?
Mungkin ini adalah jawaban yang relevan atas pertanyaan: anak jalanan masih di jalanan sementara para staff NGO-nya sudah jalan – jalan dengan mobil baru. Pantas kiranya bila kerabat2 saya, para profesional perusahaan memandang miring mengenai dunia NGO.
Ya sudahlah, waktu itu saya berpikir begini: yang penting kerja. Tidak usah mikir rejeki orang. Ntar stress. Kebetulan saat itu saya menempel ketat pada para biarawan Katolik (saya Muslim). Mereka merupakan paduan sempurna dari sukarelawan dan profesional. Mereka bekerja sukarela (dari dasar hati) dengan kualitas profesional. Kami bekerja di pedalaman dengan segenap kesengsaraan namun hati gembira. Satu – satunya yang memuakkan adalah ketika para atasan (para cendekiawan/ dosen) datang meninjau proyek….minta difoto dengan masyarakat saat menyerahkan bantuan pakaian. Padahal pakaian – pakaian itu bukan bagian dari program. Itu adalah sumbangan dari para dermawan di kota yang dititipkan saya. Mereka tahu itu. Ternyata…pendidikan tinggi tidak menjamin moral yang baik.
Tak terasa 4 tahun berlalu dan saya mencoba mencari suasana baru di organisasi internasional lainnya. Tak lebih dan tak kurang. Mereka hanya sekumpulan bandit berkerah putih yang pada dasarnya tidak peduli dengan komitmen organisasi.
Kini saya mengelola sebuah organisasi bersama teman – teman, dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Mereka adalah akuntan di perusahaan publik, kepala sekolah di sebuah sekolah internasional di Jakarta, pembuat film dan fotografer. Mereka digaji $60 per bulan, karena mereka bekerja part time. Saya adalah satu – satunya full timer, bergaji $500. Gaji kami tentukan sendiri, dengan dasar kesepakatan moral dan yang pasti juga melihat realitas sehari – hari. Pada dasarnya kami bisa saja membuat anggaran gaji yang setara dengan NGO internasional lainnya. Toh jaminan dana ada dari para pendukung kami di Eropa dan itu nggak baka pernah kering: berkelanjutan. Cuma ya itu, nggak tega aja. Mereka adaah anak – anak sekolah, orang – orang tua di perkumpulan gereja dll, yang mengamanatkan uangnya untuk dipakai sebaik – baiknya. Ya, kami memastikan setiap sen uang dipakai dengan bijak. Selagi masih bisa naik bis kota, kenapa harus taxi? Selagi masih bisa nginap di rumah masyakarat desa, kenapa harus di hotel. Tidak ada dana yang dipakai untuk entertain pejabat atau auditor.
Saya pribadi sangat bersyukur telah mendapatkan hidup yang benar – benar good life, yang belum tentu dicapai oleh para profesional perusahaan, dosen, pejabat atau bahkan koruptor.
Saya menjalani hidup seperti sebuah liburan, terbagi menjadi 3 bagian yakni Jakarta, pedalaman Kalimantan dan luar negeri. Liburan? Menurutku ya, tapi bagi orang lain mungkin sebuah siksaan. Jalan kaki puluhan kilometer, tinggal di desa -hutan, dirubung nyamuk, atau harus sembunyi dari kejaran para penjahat/pejabat/pengusaha. hehehe saya pernah dikeroyok orang hingga babak belur.
Hidup menjadi terasa luar biasa karena setiap hari selalu terbukanya peluang untuk membuat perbedaan dan itu menjadikan saya menjadi merasa berbeda dengan orang lain yang hanya hidup untuk kerja, dapat uang, makan, lalu mati.
Kini bapak ibu saya, tidak malu lagi punya anak kerja di NGO. Bukan karena saya membuat perbedaan, tapi karena seringnya saya ke luar negeri….hehehehe mereka memang orang desa yang sederhana dan yang pasti lebih bahagia.
Ngomong – ngomong, kalau dihitung pakai uang, berapa harganya sebuah good life?
No comments:
Post a Comment